09 September 2009

Pendidikan Nilai sebagai Upaya Pembentukan Karakter Peserta Didik

Pendidikan Nilai sebagai Upaya Pembentukan Karakter Peserta Didik
Oleh: Akhmad Huda, S.Pd.
(Guru MTs Sunan Giri Prigen Kab. Pasuruan)

Abstrak: Pendidikan di Indonesia baik formal, non-formal maupun informal merupakan proses yang dengan sengaja dilakukan untuk tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian yang mantap, mandiri serta bertanggung jawab. Pendidikan bukan sekedar proses pengayaan intelektual, tetapi juga menumbuhkan benih-benih adab manusia untuk mengecambahkan kualitas luhur kemanusiaan. Hal itu akan tercipta apabila ada keharmonisan antara pendidikan sekolah dengan pendidikan keluarga, di samping memang pendidikan sekolah pun harus menumbuhkan benih-benih adab manusia. ini adalah pendidikan nilai, dan sebagai lingkungan yang paling akrab dengan kehidupan anak, keluarga memiliki peran yang sangat penting dan strategis bagi penyadaran, penanaman, dan pengembangan nilai.
Kata Kunci: Pendidikan, Nilai, Karakter Peserta Didik
Achjar Chalil, S.Pd. dalam bukunya yang berjudul Pembelajaran Berbasis Fitrah menjelaskan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang tak berkesudahan yang sangat menentukan karakter bangsa pada masa kini dan masa datang, apakah suatu bangsa akan muncul sebagai bangsa pemenang, atau bangsa pecundang sangat tergantung pada kualitas pendidikan yang dapat membentuk karakter anak bangsa tersebut. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, karakter ialah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Karakter satu bangsa sangat dipengaruhi oleh kultur dasar bangsa tersebut.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dewasa ini telah menggiring manusia kepada bidang keahlian tertentu sebagai konsekuensi logis dari persaingan antar bidang ilmu yang telah terspesialisasi sedemikian rupa. Seseorang tidak lagi bisa menjadi generalis, karena ia telah dibatasi oleh sekat-sekat ilmu yang ditekuninya. Lebih diperparah lagi jika seseorang tidak mampu lagi bahkan sekedar menengok bidang-bidang lain yang bukan spesialisasinya, atau bidang ilmu yang ditekuni itu tidak lagi dilandasi dan dijiwai, bahkan mungkin tak tersentuh sama sekali oleh nilai-nilai moral universal (baca nilai-nilai agama). Selain itu pada masyarakat modern terlihat kecenderungan berperilaku serba instan, praktis, ingin serba cepat. Akibatnya keinginan serba cepat itu kadangkala menyebabkan aturan dilanggar, nilai-nilai moral terabaikan, dan lain sebagainya. Sikap manusia modern seperti ini telah digambarkan oleh Al-Qur’an dengan kata-kata al-’ajalah (ketergesa-gesaan, serba instan), yang disebutkan dalam surat Al-Qiyamah ayat 20-21.
Sesungguhnya tidak salah keinginan serba cepat dan tidak bertele-tele itu sepanjang tetap dalam koridor nilai-nilai dan norma-norma moral. Ketepatan waktu, kedisiplinan, mau antre, tidak menyogok untuk dapat didahulukan kepentingannya sendiri sementara orang lain dibelakangkan, dan lain sebagainya. Sikap ingin serba cepat dalam setiap persoalan ini memang merupakan salah satu karakteristik manusia, seperti digambarkan dalam surat Al-Isra ayat 11 : ” .....dan adalah manusia diciptakan selalu bersifat tergesa-gesa”. Pemberdayaan masyarakat untuk tetap memegang nilai-nilai bukanlah suatu perkara mudah, tetapi harus dilakukan. Sebab, tanpa memahami nilai-nilai itu maka mustahil seseorang mampu mempraktekkannya dalam kehidupan.
Kalau kita lihat dewasa ini mengapa banyak para pejabat negara dan politisi semakin gandrung melakukan praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme)? Mengapa aparat penegak hukum cenderung melanggar peraturan-peraturan hukum yang mereka buat sendiri? Mengapa para elite politik suka ''cakar-mencakar'' dan berusaha menjatuhkan lawan-lawan politiknya? Mengapa kaum intelektual cenderung melanggar etika profesinya dan visi-misi luhurnya? Mengapa sesama anak-anak bangsa senang menabur benih-benih kebencian, permusuhan, dengki, dan dendam? Mengapa para siswa-siswi dan mahasiswa-mahasiswi sering terlibat dalam aksi-aksi kekerasan, pornografi, seks bebas, narkoba, dan aneka macam penyakit sosial lainnya? Mengapa antarsesama anggota keluarga sering terjadi percecokan, perkelahian, bahkan berakhir pada pembunuhan? Mengapa hidup kita selalu diwarnai tragedi-tragedi kemanusiaan yang memilukan, dan seterusnya?
Timo Teweng dalam artikel yang berjudul Penanaman Pendidikan Nilai, menjelaskan tentang salah satu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas adalah karena kita gagal menumbuhkembangkan pendidikan nilai, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Dalam beberapa dekade terakhir ini, pembangunan kita cenderung berorientasi pada sesuatu yang bersifat pragmatis, yaitu hasil yang bisa dilihat dengan mata dan dinikmati oleh perut.

Pendidikan Nilai
Pada dasarnya pendidikan nilai itu hanya dapat diwujudkan atau dijabarkan dalam suatu kebersamaan. Oleh karena itu, untuk melakukannya hampir tidak mungkin tanpa rasa empati dan penghargaan kepada orang lain, kepada segala sesuatu di lingkungan alam dan lingkungan sosial, yang mengerucut pada penghargaan kepada kehidupan. Sementara empati tak mungkin muncul tanpa kepekaan terhadap berbagai persoalan tanpa sekat-sekat ras, etnis, agama, golongan, dan lainnya.
Dalam pendidikan nilai, ada tiga masalah mendasar yang mesti dipahami oleh para pendidik (guru) dan siapa saja, yaitu apa yang harus diajarkan (filsafat), bagaimana anak belajar dan memahami nilai moral (psikologi), serta dalam masyarakat apa dan macam mana nanti kita (sosiologi). Menolak pentingnya filsafat berarti menerima saja yang diperintahkan oleh suatu sistem tertentu. Mengesampingkan psikologi sebagai suatu sarana didaktik metodik pendidikan berarti membiarkan para pendidik seenaknya menggunakan metode-metode pendidikan yang belum teruji kebenaran ilmiahnya. Mengabaikan hakikat tujuan pendidikan moral dalam rangka sejarah (masyarakat) berarti menerima saja masyarakat seperti apa adanya tanpa peduli mengenai apa yang akan terjadi di masa mendatang.
Timo Teweng juga menjelaskan bahwa nilai merupakan integritas hidup seseorang yang akan tercermin dalam pilihannya: cara berpakaian, teman-teman yang dipilih pasangan hidup, interaksi sosial, dan bagaimana hubungan keluarga dengan saudara-saudaranya. Pendidikan nilai membantu banyak orang untuk membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang harus diprioritaskan dan mana yang tidak diprioritaskan, mana yang perlu dan mana tidak perlu.
Selain itu nilai merupakan realitas abstrak dalam diri manusia yang menjadi daya pendorong terhadap sikap dan tingkah laku sehari-hari. Seseorang yang telah menghayati nilai kejujuran sebagaimana diajarkan oleh Islam akan terdorong untuk bersikap dan bertindak jujur kepada orang lain bahkan terhadap dirinya sendiri. Pendidikan nilai bertujuan untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good, yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands. Dalam pembinaan akhlak, perhatian yang cukup besar hendaklah diberikan terhadap pendidikan akhlak anak-anak. Masa kanak-kanak adalah mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani dan dimulailah ufuk manusiawi. Karena itu anak-anak harus dididik dengan akhlak yang mulia. Sedini mungkin anak-anak harus mendapat pendidikan akhlak mulia, sebab “kesan” pada pendidikan dini inilah yang akan berakar kuat dalam kehidupan mereka di masa yang akan datang.
Pendidikan Nilai dan Pembentukan Karakter Peserta Didik
Sekolah sebagai institusi pendidikan yang berperan aktif menanamkan nilai-nilai kepada para peserta didik harus memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan nilai ini. Penerapan pendidikan nilai di sekolah harus melibatkan semua unsur yang terlibat di sekolah itu. Iklim sekolah harus memberi peluang terjadinya interaksi positif antara peserta didik dengan nilai-nilai yang akan diinternalisasikan, baik melalui keteladanan personal, diskusi, maupun proses belajar mengajar dalam arti seluas-luasnya. Komunikasi pendidik dengan peserta didik harus baik yang didasari pada adanya penerimaan kedua belah pihak. Muatan komunikasi itu juga penting agar mengarah kepada nilai-nilai yang diinginkan.
Pendidikan nilai harus ditanamkan kepada peserta didik sebelum mereka mencapai usia akhir pembentukan kepribadian pada usia 20 atau 21 tahun. Jika melewati batas ini, sudah amat sulit memasukkan nilai-nilai karena harus membangun kembali kepribadian yang telah terbentuk (reconstruction of personality). Oleh sebab itu nilai-nilai Islam dalam bentuk akhlak al-karimah sudah terkristal dan terinternalisasi sejak kecil agar menjadi sikap hidup yang tak memerlukan lagi pengawasan dari luar diri individu. Ada atau tidak ada polisi akan berhenti otomatis bila lampu merah lalu lintas menyala. Ada atau tidak ada orang yang melihat secara otomatis akan menjalankan kewajibannya kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Selain itu keberhasilan pembentukan karakter peserta didik melalui pendidikan nilai tidak hanya diterapkan di lingkungan sekolah saja. Lingkungan keluarga merupakan salah satu tempat yang saat ini mulai terlupakan, diingatkan oleh Dr. Rohmat Mulyana, hal krusial yang dihadapi pendidikan nilai di keluarga adalah kecenderungan menipisnya ikatan emosional anak terhadap orangtua atau sebaliknya. Keadaaan ini terjadi sebagai akibat pergeseran nilai-nilai kehidupan manusia yang merembes ke dalam kehidupan keluarga. Dalam hal ini peran ibu dalam pendidikan nilai sangat penting. Ibu adalah sekolah pertama bagi seorang anak (al-ummu madrasatul ula). Masalahnya sekarang, tidak semua orang tua di rumah memiliki waktu dan kesempatan untuk melakukannya. Demikian juga tidak semua orang tua mampu memahami dan menerapkan teknik-teknik pendidikan nilai secara baik kepada anak. Pendidikan nilai di keluarga adalah menjadikan keluarga sebagai zona iklim pembelajaran yang kondusif bagi anak. yang terpenting sekarang, anak adalah harapan masa depan. rasa kebersamaan dan kesatuan antara sekolah dan orangtua bisa memunculkan konsep berbagi rasa sebagai wujud tanggung jawab bersama.
Pendidikan nilai, moral dan etika merupakan hidden curriculum yang secara integral terkait dengan hampir semua mata pelajaran sekolah. Keberhasilan menanamkan dan menumbuhkembangkan nilai-nilai tersebut tergantung dari peranan pendidik (guru) yang mendukung sistem penyelenggaraan pendidikan sekolah dan sejauh mana komitmen masyarakat terutama keluarga dan pemerintah dalam memberikan teladan kepada anak-anak.



Daftar Rujukan
Teweng, Timo. 2005. Penanaman Pendidikan Nilai. (Online), (http://www.ppi-india.org diakses 7 Juli 2009)
……………...2008. Pendidikan Nilai. (Online), http://diazzoo. multiply.com/journal/item/82/Pendidikan Nilai diakses 7 Juli 2009)
........... 2008. Pendidikan Nilai (Online), (http://inmadrasah.co.cc/2008/04/pendidikan-nilai.html, diakses 7 Juli 2009)

Proses Pembudayaan melalui Pendidikan Formal

Proses Pembudayaan melalui Pendidikan Formal
Oleh: Akhmad Huda, S.Pd.
(Guru MTs Ma'arif Sunan Giri Prigen Kab. Pasuruan)


Abstrak: Sekolah atau pendidikan formal adalah salah satu saluran atau media dari proses pembudayaan Media lainnya adalah keluarga dan institusi lainnya yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah pendidikan disebut sebagai proses untuk “memanusiakan manusia” tepatnya “memanusiakan manusia muda” (meminjam istilah Dick Hartoko). Sementara itu, kalangan antropolog dan ilmuwan sosial lainnya melihat bahwa pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan dan mensosialisasikan manusia sebagaimana yang kita kenal dengan proses enkulturasi (pembudayaan) dan sosialisasi (proses membentuk kepribadian dan perilaku seorang anak menjadi anggota masyarakat sehingga anak tersebut diakui keberadaanya oleh masyarakat yang bersangkutan).

Kata Kunci: Proses, Budaya, Kebudayaan, Pendidikan, Pendidikan Formal

Pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia agar dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik secara pribadi, kelompok, maupun masyarakat secara keseluruhan. Daoed Joesoef memandang pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena kehidupan adalah kelseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa yang kita lakukansebagai manusia, yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus dilakukan oleh setiap orang, menetapkan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai makhluk bio-sosial.
Pendidikan adalah upaya menanamkan sikap dan keterampilan pada anggota masyarakat agar mereka kelak mampu memainkan peranan sesuai dengan kedudukan dan peran sosial masing-masing dalam masyarakat. Secara tidak langsung, pola ini menjadi proses melestarikan suatu kebudayaan. Sejalan dengan ini, Bertrand Russel mengatakan pendidikan sebagai tatanan sosial kehidupan bermasyarakat yang berbudaya. Melalui pendidikan kita bisa membentuk suatu tatanan kehidupan bermasyarakat yang maju, modern, tentram dan damai berdasarkan nilai-nilai dan norma budaya. Ibnu Khaldun mempertegas lagi bahwa pendidikan dan pengajaran sebagai salah satu gejala sosial yang memberi ciri masyarakatnya-masyarakat maju.
Lebih jauh, Ibnu khaldun membagi ilmu dan pengajaran ke dalam berbagai kategori, yaitu (1) ilmu Naqli yang bersumber pada Kitab Alqur’an dan Sunnah, (2) ilmu Aqli (ilmu yang berhubungan dengan otak) terdiri dari ilmu fisika (ilmu tentang benda), ilmu ilahiyat (ketuhanan atau metafisika), ilmu matematika, ilmu musik “ pengetahuan tentang asal-usul ritme, ilmu hay’ah (astronomi), (3) ilmu logika yaitu ilmu yang memilihara otak dari kesalahan. Sejalan dengan ini, konsep agama tentang pendidikan pada hakekatnya upaya untuk hijrah dari sifat-sifat negatif seperti kebodohan, iri, dengki, sombong, congkak, boros, tidak efisien, emosional, dsb. Ke sifat-sifat yang positif seperti cerdas, tenggang rasa, teliti, efisien, berpikiran maju dan bertindak atas dua dasar aturan yaitu hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan Allah.
Semua sifat positif yang diharapkan tersebut diwujudkan dalam bentuk perilaku yang religius, cekatan, terampil, dapat membedakan yang baik dan yang buruk, yang salah dan benar, menghargai semua hal yang menjadi bahagian kehidupan di alam ini termasuk segala bentuk perbedaan di antara kita sesama manusia. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat pada saat yang tepat, serta mampu mengembangkan potensi diri dalam upaya meningkatkan kualitas pribadi, keluarga, kelompok, agama, bangsa dan negara. Semua ini merupakan unsur pokok dalam proses pembentukan masyarakat yang sejahtera, survive, adil, makmur, dan penuh kedamaian.
Untuk mewujudkan hal tersebut, para penyelenggara pendidikan harus yakin bahwa program dan proses pembelajaran dapat menggiring siswa agar mampu menggunakan segala apa yang telah dimilikinya –yang diperoleh selama proses belajar– sehingga bermanfaat dalam kehidupan selanjutnya, baik kehidupan secara akademis maupun kehidupan sehari-hari. Perlu juga ditekankan di sini bahwa dalam dunia kehidupan nyata, antara kehidupan akademis dan non akademis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itu seharusnya, program dan proses pembelajaran tidak membuat dikotomi (memisahkan secara tegas) di antara keduanya. Semua ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah upaya membangun budaya suatu masyarakat sehingga tercipta kehidupan yang modern, maju, dan harmoni yang didasari oleh nilai-nilai budaya yang diyakini bersama oleh suatu masyarakat.


Budaya dan Kebudayaan
Budaya sering diartikan sebagai “konsep pemikiran”, sementara kebudayaan mencakup semua aspek, konsep pemikiran dan produknya. Koentjaraningrat tidak membedakan itu. Secara etimologis, “Budaya berasal dari kata budi dan daya (budi daya) atau daya (upaya atau power) dari sebuah budi, kata budaya digunakan sebagai singkatan dari kebudayaan dengan arti yang sama” (Koentjaraningrat, 1980:81-82). Dalam bahasa Inggris disebut dengan culture, berasal dari bahasa latin colere yang berarati mengolah atau megerjakan, dengan demikian culture diartikan sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah alam (Ibid: 182). Dalam kamus Bahasa Indonesia, juga tidak terlihat dengan tegas perbedaan pengertian budaya dan kebudayaan. “budaya diartikan sebagai buah atau hasil pikiran/akal budi”. Kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan bathin (akal budi) manusia , seperti kepercayaan, kesenian, dan atat istiadat (Pusbinbangsa, 1983).
Dalam kajian lebih jauh, Irianto (1997: 56-57) , setidaknya ada dua aliran dalam pendefinisian kebudayaan, yaitu positivisme dan interpretivisme. Perbedaan mendasar pada kedua aliran tersebut terletak pada paradigma tentang hubungan manusia dengan alam sekitar. Aliran positivisme memandang manusia sebagai bagian dari alam yang tunduk pada hukum-hukum sosial, perilakunya dapat dipelajari melalui pengamatan dan diatur oleh sebab-sebab eksternal. Sebaliknya aliran interpretivisme memandang manusia sebagai anggota-anggota masyarakat yang saling membagikan suatu sistem sosial dan sistem makna. Manusia mendiuduki posisi sentral, kenyataan dan relaitas social merupakan hasil ciptaan manusia yang diatur melalui sistem makna. Koentjaraningrat dikelompokkan ke dalam aliran positivisme yang mengartikan budaya atau kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan mesayarakat yang dijadikan milik diri manusia melalui proses belajar.
Berdasarkan pendapat tersebut, batasan antara pengertian budaya dengan kebudayaan tidak terlihat dengan tegas. Terlepas dari perdebatan itu, dalam tulisan ini pengertian budaya lebih kepada sistem nilai dan norma yang mendasari perilaku manusia, sebagaimana yang dikemukakan oleh Daoed Joesoef (1982), “budaya merupakan sistem nilai dan ide yang dihayati oleh sekelompok manusia di suatu lingkungan hidup tertentu di suatu kurun tertentu”. Sementara kebudayaan diartikan sebagai semua hal yang terkait dengan budaya. Dalam konteksi tinjauan budaya dilihat dari tiga aspek, yaitu pertama, budaya yang universal yaitu berkaitan niliai-nilai universal yang berlaku di mana saja yang berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi. Kedua, budaya nasional, yaitu nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia secara nasional. Ketiga, budaya lokal yang eksis dalam kehidupan masayarakat setempat. Ketiga aspek ini terkait erat dengan sistem pendidikan sebagai wahana dan proses pewarisan budaya.

Peran Budaya dalam Pendidikan
Transformasi menjadi kunci dari penciptaan makna dan pengembangan pengetahuan. Dengan demikian, peran budaya dalam pendidikan bukan sekedar mentransfer dan menyampaikan budaya atau perwujudan budaya kepada siswa, tetapi menggunakan budaya untuk menjadikan siswa mampu menciptakan makna. Budaya, dalam berbagai perwujudannya, secara instrumental dapat berfungsi sebagai media pembelajaran dalam proses belajar.
Perwujudan budaya dapat memberikan suasana baru yang menarik untuk mempelajari suatu bidang ilmu. Sebagai media pembelajaran, budaya dan beragam perwujudannya dapat menjadi konteks dari contoh tentang konsep atau prinsip dalam suatu matapelajaran, serta menjadi konteks penerapan prinsip atau dalam suatu matapelajaran. Pada akhirnya, jika siswa telah mampu menguasai bidang ilmu secara kontekstual dalam komunitas budayanya maka komunitas budaya menjadi konteks dan kerangka berpikir untuk menerapkan beragam pengetahuan dan keterampilan ilmiah bidang ilmu sebagai alat pemecahan masalah serta alat pengembangan komunitas budayanya.

Proses Pembudayaan dalam Pendidikan
Proses pembudayaan (enkulturasi) adalah upaya membentuk perilaku dan sikap seseorang yang didasari oleh ilmu pengetathuan, keterampilan sehingga setiap individu dapat memainkan perannya masing-masing. Dengan demikian, ukuran keberhasilan pembelajaran dalam konsep enkulturasi adalah perubahan perilaku siswa. Hal ini sejalan dengan 4 (empat) pilar pendidikan yang dikemukakan oleh Unesco, Belajar bukan hanya untuk tahu (to know), tetapi juga menggiring siswa untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh secara langsung dalam kehidupan nyata (to do), belajar untuk membangun jati diri (to be), dan membentuk sikap hidup dalam kebersamaan yang harmoni (to live together). Untuk itu, pembelajaran berlangsung secara konstruktivis (developmental) yang didasari oleh pemikiran bahwa setiap individu peserta didik merupakan bibit potensial yang mampu berkembang secara mandiri. Tugas pendidikan adalah memotivasi agar setiap anak mengenali potensinya sedini mungkin dan menyediakan pelayanan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki serta mengarahkan pada persiapan menghadapi tantangan ke depan. Pendidikan mengarah pada pembentukan karakter, performa yang konkrit (observable) dan terukur (measurable) yang berkembang dalam tiga ranah kemampuan, yaitu: kognitif, psikomotor, dan afektif. Pengembangan kemampuan pada ketiga ranah tersebut dilihat sebagai suatu kesatuan yang saling melengkapi.
Proses pembudayaan terjadi dalam bentuk pewarisan tradisi budaya dari satu generasi kepada generasi berikutnya dan adopsi tradisi budaya oleh orang yang belum mengetahui budaya tersebut sebelumnya. Pewarisan tradisi budaya dikenal sebagai proses enkulturasi (enculturation) sedangkan adopsi tradisi budaya dikenal sebagai proses akulturasi (aculturation). Ke dua proses tersebut berujung pada pembentukan budaya dalam suatu komunitas.
Proses pembudayaan enkulturasi biasanya terjadi secara informal dalam keluarga, komunitas budaya suatu suku, atau budaya suatu wilajah. Proses pembudayaan enkulturasi dilakukan oleh orang tua atau orang yang dianggap senior terhadap anak-anak, atau terhadap orang yang dianggap lebih muda. Tata krama, adat istiadat, keterampilan suatu suku/keluarga biasanya diturunkan kepada generasi berikutnya melalui proses enkulturasi.
Sementara itu, proses akulturasi biasanya terjadi secara formal melalui pendidikan seseorang yang tidak tahu, diberi tahu dan disadarkan akan keberadaan suatu budaya, dan kemudian orang tersebut mengadopsi budaya tersebut; misalnya seseorang yang baru pindah ke tempat baru, maka ia akan mempelajari bahasa, budaya, dan kebiasaan dari masyarakat ditempat baru tersebut, lalu ia akan berbahasa dan berbudaya, serta melakukan kebiasaan sebagaimana masyarakat itu.
Pendidikan merupakan proses pembudayaan dan pendidikan juga dipandang sebagai alat untuk perubahan budaya. Proses pembelajaran di sekolah merupakan proses pembudayaan yang formal (proses akulturasi). Proses akulturasi bukan semata-mata transmisi budaya dan adopsi budaya tetapi juga perubahan budaya. Sebagaimana diketahui, pendidikan menyebabkan terjadinya beragam perubahan dalam bidang sosial budaya, ekonomi, politik, dan agama. Namun, pada saat bersamaan, pendidikan juga merupakan alat untuk konservasi budaya – transmisi, adopsi, dan pelestarian budaya. Mengingat besarnya peran pendidikan dalam proses akulturasi maka pendidikan menjadi sarana utama pengenalan beragam budaya baru yang kemudian akan diadopsi oleh sekelompok siswa dan kemudian dikembangkan serta dilestarikan.

Penutup
Untuk menjamin kekonsistenan antara tujuan pendidikan dengan pembentukan manusia yang berbudaya (enkulturasi), perlu dirancang desain pembelajaran di sekolah yang tidak terlepas dari kondisi kehidupan nyata. Antara dunia pendidikan dan dunia nyata terkait dengan hubungan sinergis. Dengan demikian, antara nilai-nilai yang ditanamkan dengan pengetahuan akademis terikat dengan hubungan yang kontinum. Tidak satupun dari komponen ilmu pengetahuan yang terlepas dari nilai dan norma budaya.
Pendidikan formal adalah salah satu media proses pembudayaan (enkulturasi). Manusia yang berbudaya adalah manusia yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap sehingga mereka mampu berpikir secara rasional, kritis, dan memiliki karakter serta kepribadian yang cina pada keharmonian kehidupan.