08 November 2009

Membangun Budaya Pendidikan yang Berorientasi Islami

Membangun Budaya Pendidikan yang Berorientasi Islami
Oleh: Akhmad Huda, S.Pd.
(Guru MTs Sunan Giri Prigen Kab. Pasuruan)


Abstrak: Dunia pendidikan saat ini berada dalam dinamika sosial kehidupan masyarakat yang tengah dibanjiri oleh arus informasi, dan proses komunikasi yang semakin cepat serta akurat sebagai akibat laju perkembangan teknologi bidang informatika yang semakin mudah dan murah. Tetapi teknologi ini mempunyai daya jelajah yang luas hingga menembus batas antarlintas budaya dari berbagai etnis dan ras di muka bumi, sehingga terjadi interaksi antarbudaya yang secara dialektis kemudian membentuk idiom budaya sangat dinamis, dan sangat berpengaruh terhadap ketahanan mental kepribadian bangsa. Dalam kondisi tertentu pada kalangan masyarakat yang tingkat kepribadiannya cenderung labil, dan mengabaikan nilai-nilai luhur budaya dan citra kebangsaan, akan berkembang perasaan bahwa budayanya sendiri rendah ketimbang budaya lain. Kondisi seperti ini yang disebut oleh Alatas dalam Yusmar Lubis (2001 : 78) sebagai captive mind syndrome. Suatu gejala jiwa, yang tidak mustahil pada kawasan keberagamaan akan menggoyahkan stabilitas keyakinannya, hingga menempati posisi yang kemudian menjadi dipertanyakan, apakah masih memiliki komitmen sebagai orang yang beragama?

Kata Kunci: Budaya, Budaya Pendidikan, Pendidikan Islam

Pendahuluan
Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural, secara makro persoalan yang dihadapi Pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan Islam mampu menghadirkan disain atau konstruksi wacana pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan masyarakat. Kemudian disain wacana pendidikan Islam tersebut dapat dan mampu ditranspormasikan atau diproses secara sistematis dalam masyarakat. Persoalan pertama ini lebih bersifat filosofis, yang kedua lebih bersifat metodologis. Pendidikan Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada dataran filosofis, wacana metodologis, dan juga cara menyampaikan atau mengkomunikasikannya.
Dalam menghadapi peradaban modern, yang perlu diselesaikan adalah persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu (1) persoalan dikotomik, (2) tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, (3) persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan ini saling interdependensi antara satu dengan lainnya. Pertama, Persoalan dikotomik pendidikan Islam, yang merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang. Pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT (Suroyo, 1991 : 45).
Mengenai persoalan dikotomi, tawaran Fazlur Rahman, salah satu pendekatannya adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk "mengislamkan"nya - yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Lebih lanjut Fazlur Rahman, mengatakan persoalannya adalah bagaimana melakukan modernisasi pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterkaiatan yang serius kepada Islam (Fazlur Rahman, 1982 : 155, 160). A.Syafi'i Ma'arif (1991 : 150), mengatakan bila konsep dualisme dikotomik berhasil ditumbangkan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam juga akan berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi. Untuk kasus Indonesia, IAIN misalnya akan lebur secara integratif dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi negeri lainnya. Peleburan bukan dalam bentuk satu atap saja, tetapi lebur berdasarkan rumusan filosofis.
Kedua, perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam (Anwar Jasin, 1985 : 15) yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengembirakan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan peniruan dengan pola tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan terjadi tumpang tindih. Sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi, apakah mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, atau mengkhususkan pada disain pendidikan keagamaan yang berkualitas, mampu bersaing, dan mampu mempersiapkan mujtahid-mujtahid yang berkualitas.
Ketiga, persoalan kurikulum atau materi Pendidikan Islam, meteri pendidikan Islam "terlalu dominasi masalah-maslah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis. Materi disampaikan dengan semangat ortodoksi kegamaan, suatu cara dimana peserta didik dipaksa tunduk pada suatu "meta narasi" yang ada, tanpa diberi peluang untuk melakukan telaah secara kritis. Pendidikan Islam tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal untuk menghabiskan materi atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu yang telah ditentukan

Esensi Pendidikan Islam

Esensi “Pendidikan Islam", menurut Rahman tidaklah memaksudkan perlengkapan dan peralatan-peralatan fisik atau kuasi-fisik pengajaran seperti buku-buku yang diajarkan ataupun struktur eksternal pendidikan, tetapi adalah apa yang menurut Rahman sebagai "intelektualisme Islam", dan bagi Rahman inilah esensi pendidikan tinggi Islam. Intelektualisme Islam merupakan pertumbuhan suatu pemikiran Islam yang asli dan memadai, yang harus memberikan kreteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah sistem pendidikan Islam. Perumusan pemikiran pendidikan tinggi Islam haruslah didasarkan kepada metoda penafsiran yang benar terhadap al-Qur'an. Mengapa al-Qur'an harus ditempatkan sebagai titik pusat intelektualisme Islam, jawabannya karena bagi Muslim, al-Qur'an adalah kalam Allah yang diwahyukan secara harfiah kepada Nabi Muhammad, dan barangkali tidak ada dokumen keagamaan lain yang dipegang seperti itu (Fazlur Rahman, 1982 : 1).
Pendidikan Islam merupakan lembaga pendidikan ilmu-ilmu keislaman efek pembaharuannya baru dirasakan dalam lapangan reorganisasi, dan tidak dalam kandungan ilmu-ilmu Islam seperti teologi dan filsafat. Pendidikan Tinggi Islam belum mampu membangun paradigma baru yang tetap berangkat dari pemahaman al-Qur'an, sehingga mampu melahirkan apa yang disebut dengan "intelektualisme Islam". Tampaknya bagi Rahman, dikotomi tidak merupakan alasan, karena salah satu tawarnnya adalah menerima pendidikan sekuler modern yang berkembang di dunia Barat, dengan mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam, yang mewarnai bidang-bidang kajian tingkat tinggi dengan nilai-nilai Islam. Masalah pokok yang dihadapi adalah bagaimana "memodernisasi" pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterikatan yang serius kepada Islam (Rahman, 156-160).
Lebih lanjut, Ahmad Syafii Maarif (1997:3) menyatakan bahwa salah satu penyebab tersungkurnya dunia Islam adalah karena pendidikan yang diselenggarakan tidak lagi mengacu kepada dan mengantisipasi zaman yang sedang berubah dan bergulir. Umat sibuk "bernyanyi" di bawah payung kebesaran masa lampau dengan sistem politik dinasti yang otoriter. Proses penyadaran kembali terhadap tanggungjawab global umat ternyata memakan tempo yang lama sekali, karena pendidikan yang diselenggarakan sangat konservatif dalam arti menjaga dan melestarikan segala yang bersifat klasik. Daya kritis dan inovatif hampir-hampir lenyap samasekali dari ruangan madrasah, pondok, dan lembaga pendidikan lainnya di seluruh negeri Muslim.

Penerapan Pendidikan Islami

Menurut al Qur’an, semua pengetahuan datangnya dari Allah. Sebagian dari pengetahuan itu diwahyukan oleh Allah Swt kepada orang yang dipilih-Nya, sebagian lain diperoleh manusia dengan menggunakan indera, akal dan qalbunya. Pengetahuan yang diwahyukan itu mempunyai kebenaran absolut (mutlak), sedangkan pengetahuan yang diperoleh manusia, kebenarannya tidak mutlak. Dalam kenyataan sejarah, kedua macam pengetahuan ini selalu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Islam. Pengetahuan yang diwahyukan disebut pengetahuan naqliyah dan pengetahuan yang diperoleh manusia disebut pengetahuan aqliyah. Ketika pemikiran dan teknologi telah begitu maju, maka hubungan antara pengetahuan naqliyah dengan pengetahuan aqliyah mulai terganggu sehingga muncul keterpisahan antara keduanya. Dalam berbagai buku, juga dalam pembicaraan sehari-hari, sering kali dijumpai istilah pengetahuan umum dan pengetahuan agama. Dari istilah ini kemudian berkembang pula istilah lainnya, seperti sekolah umum dan sekolah agama, guru umum dan guru agama. Bahkan muncul pula kategori masalah dunia (masalah pengetahuan umum) dan masalah akhirat (masalah pengetahuan agama). Keterpisahan ini sebenarnya menimbulkan konflik, baik dalam diri individu maupun dalam kehidupan masyarakatnya
Ajaran Islam yang dijumpai dalam al-Qur’an dan al-Hadits telah meletakkan dasar-dasar yang khas tentang berbagai aspek kehidupan, mulai dari aspek sosial, politik, ekonomi, hubungan antar umat beragama, hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, cakupan pendidikan Islami harus diarahkan untuk memenuhi berbagai aspek kehidupan ini, dan inilah yang menjadi cita-cita Islam untuk berbagai aspek kehidupan, di antaranya:
Dalam bidang sosial, Islam mencita-citakan suatu masyarakat yang egaliter, yakni sistem sosial yang didasarkan kesetaraan dan kesederajatan sebagai makhluk Allah Swt. Atas dasar ini, kedudukan dan kehormatan manusia adalah sama di hadapan Allah Swt, bukan didasarkan atas perbedaan suku, ras, golongan, bahasa, pangkat, keturunan dan sebagainya. Dalam bidang politik, Islam mencita-citakan suatu kehidupan negara yang dipimpin oleh orang yang adil, jujur, amanah, dan demokratis, sehingga ia tidak menyalahgunaan kekuasaan, menciptakan kemakmuran dan memperhatikan aspirasi rakyatnya. Dalam bidang ekonomi, Islam mencita-citakan sistem ekonomi yang didasarkan pada pemerataan, anti monopoli dan saling menguntungkan. Dalam bidang hubungan sosial, Islam mencita-citakan suatu sistem masyarakat yang didasarkan pada ukhuwah yang kokoh, hubungan yang harmonis, saling tolong menolong sesama manusia. Dalam bidang hukum, Islam mencita-citakan tegaknya supremasi hukum yang didasarkan pada keadilan, tidak pilih kasih, manusiawi, konsisten dan obyektif yang diarahkan untuk melindungi seluruh aspek HAM yang meliputi hak hidup, hak beragama, hak memiliki dan memanfaatkan harta, hak memiliki keturunan, hak mengembangkan cita-cita dan memperoleh ilmu pengetahuan. Dalam bidang ilmu pengetahuan, Islam mencita-citakan pengembangan ilmu pengetahuan yang integrated antara ilmu naqliyah dan ilmu aqliyah. Sedangkan dalam bidang budaya, Islam membolehkan masuknya budaya baru sepanjang tidak bertentangan dengan aqidah dan akhlak Islam.
Gambaran tentang cita-cita Islam dalam berbagai lapangan kehidupan di atas selain harus disosialisasikan kepada umat Islam melalui jalur pendidikan, juga sekaligus menjadi prinsip dasar dalam penyelenggaraan pendidikan Islam

Budaya Pendidikan yang Berorientasi Islami
Ciri utama pendidikan dapat dikatakan Islami ialah senantiasa berpegang teguh pada penjelasan Allah Swt mengenai hakikat manusia dan menjadikan penjelasan Allah Swt itu sebagai rujukan utama di mana pun dan kapan pun pendidikan itu dilaksanakan. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah Swt, yakni berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Lebih lanjut Ahmad Tafsir menyebut perbedaan pandangan itu karena masyarakat Barat pada umumnya berpegang pada hasil rasio manusia tentang hakikat manusia, sedangkan di kalangan masyarakat Muslim senantiasa berpegang teguh pada penjelasan Sang Penciptanya mengenai hakikat manusia dan menjadi penjelasan Sang Pencipta sebagai rujukan utama para ilmuwan Muslim di mana pun mereka berada. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah Swt, yakni berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Di antara ciri-ciri pendidikan Islami yang perlu dikembangkan akibat perbedaan pandangan mengenai hakikat manusia, yakni jika dalam pendidikan konvensional pada umumnya hanya mengakui semata-mata tri-dimensional raga (organo-biologis), jiwa (psiko-edukasi) dan lingkungan sosial-budaya (sosio-kultural) sebagai penentu utama perilaku dan kepribadian manusia, maka dalam pendidikan Islami mengakui dimensi Ruhani sebagai dimensi inti dalam sistem kejiwa-ragaan manusia.
Oleh karena itu, budaya pendidikan Islami harus mempunyai landasan yang kuat menurut ajaran Islam, terutama dalam hal: (1) landasan pendidikan Islami harus bertumpu pada akidah, ibadah dan akhlak, yakni: (a) landasan akidah dalam Islam adalah meng-Esakan Allah Swt, mengimani malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat, qadha dan qadar sampai pada keyakinan bahwa al-Qur'an adalah kebenaran yang mutlak dan harus menjadi landasan, wawasan dan sumber ilhami bagi pendidikan Islami; (b) landasan ibadah yang benar terhadap Allah sesuai ajaran Islam, dimulai dengan melaksanakan rukun Islam, melaksanakan ibadah dalam arti luas seperti berlaku adil dan ihsan, menyeru kepada kebaikan, melaksanakan yang makruf dan mencegah dari yang munkar, berjihad di jalan Allah sampai dengan mewujudkan perubahan-perubahan positif pada setiap diri individu yang berangkat dari perintah dan larangan Allah Swt; dan (c) landasan akhlak mulia, yakni mengembangkan perbuatan-perbuatan terpuji dan menjauhi perbuatan-perbuatan buruk atau tercela. Dengan demikian, pendidikan Islami secara konsisten diarahkan untuk membina manusia bermoral, (2) pendidikan Islami dalam tujuan dan proses-prosedur interaksi antar sesama manusia harus sesuai dengan syariat Islam, yakni memperlakukan setiap individu sesuai perintah dan larangan Allah Swt, mensucikan dirinya dengan amal ibadah dan taubat, mendekatkan kepada Allah Swt dan mengerjakan segala amal perbuatan wajib dan amal-amal sunah. Konsep interaksi antara sesama manusia sesuai syariat Islam termasuk kepada mereka yang non-muslim, di mana Islam melarang tindakan seseorang muslim yang dapat menggangu dan merugikan pihak non-muslim. Bahkan sampai pada tingkat tidak boleh memaksakan mereka untuk memeluk Islam dengan menggunakan kekerasan, intimidasi dan sebagainya.
Selain itu untuk menghadapi tantangan perubahan zaman pendidikan Islam harus: pertama, lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendisain ulang fungsi pendidikannya, dengan memilih apakah (1) model pendidikan yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk mempersiapkan dan melahirkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid tangguh dalam bidangnya dan mampu menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan perubahan zaman, (2) model pendidikan umum Islami, kurikulumnya integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama, untuk mempersiapkan intelektual Islam yang berfikir secara komprehensif, (3) model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam, (4) atau menolak produk pendidikan barat, berarti harus mendisain model pendidikan yang betul-betul sesuai dengan konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia, (5) pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah tetapi dilaksanakan di luar sekolah, artinya pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat berupa kursur-kursus, dan sebagainya.
Kedua, disain "pendidikan harus diarahkan pada dua dimensi, yakni : (1) dimensi dialektika (horisontal), pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan Iptek, dan (2) dimensi ketunduhan vertikal, pendidikan selain menjadi alat untuk memantapkan, memelihara sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan misteri kehidupan yang abadi dengan maha pencipta. Berati pendidikan harus disertai dengan pendekatan hati (M.Irsyad Sudiro, 1995 : 2).
Ketiga, sepuluh paradigma yang ditawarkan oleh Prof. Djohar, dapat digunakan untuk membangun paradigma baru pendidikan Islam, sebagai berikut : Satu, pendidikan adalah proses pembebasan. Dua, pendidikan sebagai proses pencerdasan. Tiga, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak. Empat, pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian. Lima, pendidikan adalah proses pemberdayaan potensi manusia. Enam, pendidikan menjadikan anak berwawasan integratif. Tujuh, pendidikan wahana membangun watak persatuan. Delapan, pendidikan menghasilkan manusia demokratik. Sembilan, pendidikan menghasilkan manusia yang peduli terhadap lingkungan. Sepuluh, sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan (Djohar, 1999 : 12).

Tiga hal yang dikemukakan di atas merupakan tawaran desain pendidikan Islam yang perlu diupayakan untuk membangun paradigma pendidikan Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan zaman modern dan memasuki era milenium ketiga. Karena, "kecenderungan perkembangan semacam dalam mengantisipasi perubahan zaman merupakan hal yang wajar-wajar saja. Sebab kondisi masyarakat sekarang ini lebih bersifat praktis-pragmatis dalam hal aspirasi dan harapan terhadap pendidikan" (S.R.Parker, 1990), sehingga tidak statis atau hanya berjalan di tempat dalam menatap persoalan-persoalan yang dihadapi pada era masyarakat modern dan post masyarakat modern. Untuk itu, Pendidikan dalam masyarakat modern, pada dasarnya berfungsi untuk memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosiokulturalnya yang terus berubah dengan cepat, dan pada saat yang sama, pendidikan secara sadar juga digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik, ekonomi secara keseluruhan. Pendidikan sekarang ini seperti dikatakan oleh Ace Suryadi dan H.A.R. Tilar (1993), tidak lagi dipandang sebagai bentuk perubahan kebutuhan yang bersifat konsumtif dalam pengertian pemuasan secara langsung atas kebutuhan dan keinginan yang bersifat sementara. Tapi, merupakan suatu bentuk investasi sumber daya manusia (human investment) yang merupakan tujuan utama ; pertama, pendidikan dapat membantu meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan untuk bekerja lebih produktif sehingga dapat meningkatkan penghasilan kerja lulusan pendidikan di masa mendatang. Kedua, pendidikan diharapkan memberikan pengaruh terhadap pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan (equality of education opportunity) (A.Malik Fadjar, 1995 : 1).
Selain itu dalam menghadapi era milenium ketiga ini nampaknya pendidikan Islam harus menyiapkan sumber daya manusia yang lebih handal yang memiliki kompotensi untuk hidup bersama dalam era global. Menurut Djamaluddin Ancok (1998 : 5), "salah satu pergeseran paradigma adalah paradigma di dalam melihat apakah kondisi kehidupan di masa depan relatif stabil dan bisa diramalkan (predictability). Pada milenium kedua orang selalu berpikir bahwa segala sesuatu bersifat stabil dan bisa diprediksi. Tetapi, pada milenium ketiga semakin sulit untuk melihat adanya stabilitas tersebut. Apa yang terjadi di depan semakin sulit untuk diprediksi karena perubahan menjadi tidak terpolakan dan tidak lagi bersifat linier". Maka, pendidikan Islam sekarang ini disainnya tidak lagi bersifat linier tetapi harus didisan bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat dan tidak terpolakan. Untuk itu, lebih lanjut Djamaluddin Ancok yang mengutip Hartanto : 1997: Hartanto, Raka & Hendroyuwono, 1998, mengatakan bahwa pendidikan (termasuk pendidikan Islam) harus mempersiapkan ada empat kapital yang diperlukan untuk memasuki milenium ketiga, yakni kapital intelektual, kapital sosial, kapital lembut, dan kapital spritual. Tantangan ini tidak muda untuk penyelesaiannya, tidak seperti membalik telapak tangan. Untuk itu, pendidikan Islam sangat perlu mengadakan perubahan atau mendesain ulang konsep, kurikulum dan materi, fungsi dan tujuan lembaga-lembaga, proses, agar dapat meneuhi tuntatan perubahan yang semakin cepat.

Daftar Rujukan
Rahman, Editor, (2006), Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan, Jatonangor Bandung: Alqaprint Jatinangor, hal. 2.
Ahmad Tafsir, (2007), Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, hal. 8.
Ahmad Tafsir, (2006), Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung: Remaja Rosdakarya, hal. 7.
Ahmad Syafii Maarif, 1997, Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru yang Lebih Efektif, Makalah Seminar.
______, 1984, Fazlur Rahman, al-Qur'an dan Pemikirannya dalam Islam, Edisi Indonesia, Pustaka, Bandung.

SINTAKSIS

Pengertian Sintaksis
SINTAKSIS
Kata sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti “dengan” dan kata tattein yang berarti “menempatkan”. Jadi, secara etimologi berarti: menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat.
STRUKTUR SINTAKSIS
Secara umum struktur sintaksis terdiri dari susunan subjek (S), predikat (P), objek (O), dan keterangan (K) yang berkenaan dengan fungsi sintaksis. Nomina, verba, ajektifa, dan numeralia berkenaan dengan kategori sintaksis. Sedangkan pelaku, penderita, dan penerima berkenaan dengan peran sintaksis.
Eksistensi struktur sintaksis terkecil ditopang oleh urutan kata, bentuk kata, dan intonasi; bisa juga ditambah dengan konektor yang biasanya disebut konjungsi. Peran ketiga alat sintaksis itu tidak sama antara bahasa yang satu dengan yang lain.
KATA SEBAGAI SATUAN SINTAKSIS
Sebagai satuan terkecil dalam sintaksis, kata berperan sebagai pengisi fungsi sintaksis, penanda kategori sintaksis, dan perangkai dalam penyatuan satuan-satuan atau bagian-bagian dari satuan sintaksis.
Kata sebagai pengisi satuan sintaksis, harus dibedakan adanya dua macam kata yaitu kata penuh dan kata tugas. Kata penuh adalah kata yang secara leksikal mempunyai makna, mempunyai kemungkinan untuk mengalami proses morfologi, merupakan kelas terbuka, dan dapat berdiri sendiri sebagai sebuah satuan. Yang termasuk kata penuh adalah kata-kata kategori nomina, verba, adjektiva, adverbia, dan numeralia. Misalnya mesjid memiliki makna ‘ tempat ibadah orang Islam ’. Sedangkan kata tugas adalah kata yang secara leksikal tidak mempunyai makna, tidak mengalami proses morfologi, merupakan kelas tertutup, dan di dalam peraturan dia tidak dapat berdiri sendiri. Yang termasuk kata tugas adalah kata-kata kategori preposisi dan konjungsi. Misalnya dan tidak mempunyai makna leksikal, tetapi mempunyai tugas sintaksis untuk menggabungkan menambah dua buah konstituen.
Kata-kata yang termasuk kata penuh mempunyai kebebasan yang mutlak, atau hampir mutlak sehingga dapat menjadi pengisi fungsi-fungsi sintaksis. Sedangkan kata tugas mempunyai kebebasan yang terbatas, selalu terikat dengan kata yang ada di belakangnya (untuk preposisi), atau yang berada di depannya (untuk posposisi), dan dengan kata-kata yang dirangkaikannya (untuk konjungsi).
FRASE
Pengertian Frase
Frase lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif (hubungan antara kedua unsur yang membentuk frase tidak berstruktur subjek - predikat atau predikat - objek), atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat.
Jenis Frase
Frase Eksosentrik
Frase eksosentrik adalah frase yang komponen-komponennya tidak mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya.
Frase eksosentris biasanya dibedakan atas frase eksosentris yang direktif atau disebut frase preposisional ( komponen pertamanya berupa preposisi, seperti di, ke, dan dari, dan komponen keduanya berupa kata atau kelompok kata, yang biasanya berkategori nomina) dan non direktif (komponen pertamanya berupa artikulus, seperti si dan sang sedangkan komponen keduanya berupa kata atau kelompok kata berkategori nomina, ajektifa, atau verba).
Frase Endosentrik
Frase Endosentrik adalah frase yang salah satu unsurnya atau komponennya memiliki perilaku sintaksias yang sama dengan keseluruhannya. Artinya, salah satu komponennya dapat menggantikan kedudukan keseluruhannya. Frase ini disebut juga frase modifikatif karena komponen keduanya, yaitu komponen yang bukan inti atau hulu (Inggris head) mengubah atau membatasi makna komponen inti atau hulunya itu. Selain itu disebut juga frase subordinatif karena salah satu komponennya, yaitu yang merupakan inti frase berlaku sebagai komponen atasan, sedangkan komponen lainnya, yaitu komponen yang membatasi, berlaku sebagai komponen bawahan.
Dilihat dari kategori intinya dibedakan adanya frase nominal (frase endosentrik yang intinya berupa nomina atau pronomina maka frase ini dapat menggantikan kedudukan kata nominal sebagai pengisi salah satu fungsi sintaksis), frase verbal (frase endosentrik yang intinya berupa kata verba, maka dapat menggantikan kedudukan kata verbal dalam sintaksis), frase ajektifa (frase edosentrik yang intinya berupa kata ajektiv), frase numeralia (frase endosentrik yang intinya berupa kata numeral).
Frase Koordinatif
Frase koordinatif adalah frase yang komponen pembentuknya terdiri dari dua komponen atau lebih yang sama dan sederajat dan secara potensial dapat dihubungkan oleh konjungsi koordinatif. Frase koordinatif tidak menggunakan konjungsi secara eksplisit disebut frase parataksis.
Frase Apositif
Frase apositif adalah frase koordinatif yang kedua komponennya saling merujuk sesamanya, oleh karena itu urutan komponennya dapat dipertukarkan.
Perluasan Frase
Salah satu ciri frase adalah dapat diperluas. Artinya, frase dapat diberi tambahan komponen baru sesuai dengan konsep atau pengertian yang akan ditampilkan.
Dalam bahasa Indonesia perluasan frase tampak sangat produktif. Antara lain karena pertama, untuk menyatakan konsep-konsep khusus, atau sangat khusus, atau sangat khusus sekali, biasanya diterangkan secara leksikal. Faktor kedua, bahwa pengungkapan konsep kala, modalitas, aspek, jenis, jumlah, ingkar, dan pembatas tidak dinyatakan dengan afiks seperti dalam bahasa-bahasa fleksi, melainkan dinyatakan dengan unsur leksikal. Dan faktor lainnya adalah keperluan untuk memberi deskripsi secara terperinci dalam suatu konsep, terutama untuk konsep nomina.
KLAUSA
Pengertian Klausa
Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen, berupa kata atau frase, yang berungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, objek, dan keterangan.
Klausa berpotensi untuk menjadi kalimat tunggal karena di dalamnya sudah ada fungsi sintaksis wajib, yaitu subjek dan predikat. Frase dan kata juga mempunyai potensi untuk menjadi kalimat kalau kepadanya diberi intonasi final; tetapi hanya sebagai kalimat minor, bukan kalimat mayor; sedangkan klausa berpotensi menjadi kalimat mayor.
Jenis Klausa
Berdasarkan strukturnya klausa dibedakan klausa bebas ( klausa yang mempunyai unsur-unsur lengkap, sekurang-kurangnya mempunyai subjek dan predikat; dan mempunyai potensi menjadi kalimat mayor) dan klausa terikat (klausa yang unsurnya tidak lengkap, mungkin hanya subjek saja, objek saja, atau keterangan saja). Klausa terikat diawali dengan konjungsi subordinatif dikenal dengan klausa subordinatif atau klausa bawahan, sedangkan klausa lain yang hadir dalam kalimat majemuk disebut klausa atasan atau klausa utama.
Berdasarkan kategori unsur segmental yang menjadi predikatnya dapat di bedakan: klausa verbal (klausa yang predikatnya berkategori verba). Sesuai dengan adanya tipe verba, dikenal adanya (1) klausa transitif (klausa yang predikatnya berupa verba transitif); (2) klausa intransitif (klausa yang predikatnya berupa verba intransitif); (3) klausa refleksif (klausa yang predikatnya berupa verba refleksif); (4) klausa resiprokal (klausa yang predikatnya berupa verba resiprokal. Klausa nominal (klausa yang predikatnya berupa nomina atau frase nominal). Klausa ajektifal (klausa yang predikatnya berkategori ajektifa, baik berupa kata maupun frase). Klausa adverbial (klausa yang predikatnya berupa frase yang berkategori preposisi). Klausa numeral (klausa yang predikatnya berupa kata atau frase numeralia).
Perlu dicatat juga istilah klausa berpusat dan klausa tak berpusat. Klausa berpusat adalah klausa yang subjeknya terikat di dalam predikatnya, meskipun di tempat lain ada nomina atau frase nomina yang juga berlaku sebagai subjek.
KALIMAT
Pengertian Kalimat
Dengan mengaitkan peran kalimat sebagai alat interaksi dan kelengkapan pesan atau isi yang akan disampaikan, kalimat didefinisikan sebagai “ Susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap ”. Sedangkan dalam kaitannya dengan satuan-satuan sintaksis yang lebih kecil (kata, frase, dan klausa) bahwa kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final.
Sehingga disimpulkan, bahwa yang penting atau yang menjadi dasar kalimat adalah konstituen dasar dan intonasi final, sedangkan konjungsi hanya ada kalau diperlukan. Intonasi final yang ada yang memberi ciri kalimat ada tiga, yaitu intonasi deklaratif, yang dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda titik; intonasi interogatif, yang dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda tanya; dan intonasi seru, yang dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda seru.
Jenis Kalimat
Kalimat Inti dan Kalimat Non-Inti
Kalimat inti, biasa juga disebut kalimat dasar, adalah kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang lengkap bersifat deklaratif, aktif, atau netral, dan afirmatif. Misalnya:
FN + FV + FN + FN : Nenek membacakan kakek komik
Ket : FN=Frase Nominal (diisi sebuah kata nominal); FV=Frase Verbal; FA=Frase Ajektifa; FNum=Frase Numeral; FP=Frase Preposisi.
Kalimat inti dapat diubah menjadi kalimat noninti dengan berbagai proses transformasi:
KALIMAT INTI + PROSES TRANSFORMASI = KALIMAT NONINTI
Ket : Proses Transformasi antara lain transformasi pemasifan, transformasi pengingkaran, transformasi penanyaan, transformasi pemerintahan, transformasi pengonversian, transformasi pelepasan, transformasi penambahan.
Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk
Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya mempunyai satu klausa. Sedangkan kalimat majemuk adalah kalimat yang terdapat lebih dari satu klausa.
Berkenaan dengan sifat hubungan klausa-klausa dalam kalimat, dibedakan: (1) kalimat majemuk koordinatif/ kalimat majemuk setara yaitu kalimat majemuk yang klausa-klausanya memiliki status yang sama, yang setara, atau yang sederajat. Secara eksplisit dihubungkan dengan konjungsi koordinatif dan biasanya unsur yang sama disenyawakan atau dirapatkan sehingga disebut kalimat majemuk rapatan. (2) Kalimat majemuk subordinatif adalah kalimat majemuk yang hubungan antara klausa-klausanya tidak setara atau sederajat. Klausa yang satu merupakan klausa atasan dan yang lain disebut klausa bawahan. Kedua klausa itu dihubungkan dengan konjungsi subordinatif. Proses terbentuknya kalimat ini dapat dilihat dari dua sudut bertentangan. Pertama, dipandang sebagai hasil proses menggabungkan dua buah klausa atau lebih, dimana klausa yang satu dianggap sebagai klausa atasan dan yang lain disebut klausa bawahan. Pandangan kedua, konstruksi kalimat subordinatif dianggap sebagai hasil proses perluasan terhadap salah satu unsur klausanya. (3) Kalimat majemuk kompleks yaitu kalimat majemuk yang terdiri dari tiga klausa atau lebih, dimana ada yang dihubungkan secara koordinatif dan ada pula yang dihubungkan secara subordinatif. Jadi, kalimat ini merupakan campuran dari kalimat majemuk koordinatif dan subordinatif sehingga disebut juga kalimat majemuk campuran.
Kalimat Mayor dan Kalimat Minor
Kalimat mayor mempunyai klausa lengkap, sekurang-kurangnya ada unsur subjek dan predikat. Sedangkan kalimat minor klausanya tidak lengkap, entah hanya terdiri subjek saja, predikat saja, objek saja, atau keterangan saja; konteksnya bisa berupa konteks kalimat, konteks situasi, atau juga topik pembicaraan.
Kalimat Verbal dan Kalimat non-Verbal
Kalimat verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal, atau kalimat yang predikatnya berupa kata atau frase berkategori verba. Sedangkan kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan kata atau frase verbal; bisa nominal, ajektifal, adverbial, atau juga numeralia.
Berkenaan dengan banyaknya jenis atau tipe verbal, biasanya dibedakan: (1) kalimat transitif adalah kalimat yang predikatnya berupa verba transitif, yaitu verba yang biasanya diikuti oleh sebuah objek kalau verba tersebut bersifat monotrasitif, dan diikuti oleh dua buah objek kalau verba tersebut bersifat bitransitif. (2) kalimat intransitif adalah kalimat yang predikatnya berupa verba intransitif, yaitu verba yang tidak memiliki objek. (3) kalimat aktif adalah kalimat yang predikatnya kata kerja aktif. Verba aktif biasanya ditandai dengan prefiks me- atau memper- biasanya dipertentangkan degan kalimat pasif yang ditandai dengan prefiks di- atau diper- . Ada juga istilah kalimat aktif anti pasif dan kalimat pasif anti aktif sehubungan dengan adanya sejumlah verba aktif yang tidak dapat dipasifkan dan verba pasif yang tidak dapat dijadikan verba aktif (4) kalimat dinamis adalah kalimat yang predikatnya berupa verba yang secara semantis menyatakan tindakan atau gerakan. (5) kalimat statis adalah kalimat yang predikatnya berupa verba yang secara semantis tidak menyatakan tindakan atau kegiatan. (6) kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan verba.
Kalimat Bebas dan Kalimat Terikat
Kalimat bebas adalah kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengkap, atau dapat memulai sebuah paragraf atau wacana tanpa bantuan kalimat atau konteks lain yang menjelaskannya. Sedangkan kalimat terikat adalah kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai ujaran yang lengkap, atau menjadi pembuka paragraf atau wacana tanpa bantuan konteks. Biasanya kalimat terikat menggunakan salah satu tanda ketergantungan, seperti penanda rangkaian, penunjukan, dan penanda anaforis.
Dari pembicaraan mengenai kalimat terikat, dapat disimpulkan bahwa sebuah kalimat tidak harus mempunyai struktur fungsi secara lengkap. Kelengkapan sebuah kalimat serta pemahamannya sangat tergantung pada konteks dan situasinya.
Intonasi Kalimat
Intonasi merupakan ciri utama yang membedakan kalimat dari sebuah klausa, sebab bisa dikatakan: kalimat minus intonasi sama dengan klausa; atau kalau dibalik; klausa plus intonasi sama dengan kalimat. Jadi, kalau intonasi dari sebuah kalimat ditanggalkan maka sisanya yang tinggal adalah klausa.
Intonasi dapat diuraikan atas ciri-ciri yang berupa tekanan, tempo, dan nada. Tekanan adalah ciri-ciri suprasegmental yang menyertai bunyi ujaran. Tempo adalah waktu yang diperlukan untuk melafalkan suatu arus ujaran. Nada adalah suprasegmental yang diukur berdasarkan kenyaringan suatu segmen dalam suatu arus ujaran. Dalam bahasa Indonesia dikenal tiga macam nada, yang biasa dilambangkan dengan angka “1”, nada sedang dilambangkan dengan angka “2”, dan nada tinggi dilambangkan dengan angka “3”.
contoh: Bacálah buku itu !
2 – 32t / 2 11t #
Ket: n=naik; t=turun; tanda - di atas huruf=tekanan
Tekanan yang berbeda menyebabkan intonasinya juga berbeda; akibatnya keseluruhan kalimat itu pun akan berbeda.
Modus, Aspek, Kala, Modalitas, Fokus, dan Diatesis
Modus
Modus adalah pengungkapan atau penggambaran suasana psikologis perbuatan menurut tafsiran si pembaca atau sikap si pembicara tentang apa yang diungkapkannya.
Ada beberapa macam modus, antara lain (1) modus indikatif atau modus deklaratif, yaitu modus yang menunjukkan sikap objektif atau netral; (2) modus optatif, yaitu modus yang menunjukkan harapan atau keinginan; (3) modus imperatif, yaitu modus yang menyatakan perintah, larangan, atau tengahan; (4) modus interogatif, yaitu modus yang menyatakan pertanyaan; (5) modus obligatif, yaitu modus yang menyatakan keharusan; (6) modus desideratif, yaitu modus yang menyatakan keinginan atau kemauan; dan (7) modus kondisional, yaitu modus yang menyatakan persyaratan.
Sesungguhnya yang menjadi pembeda antara kalimat deklaratif, interogatif, imperatif, dan interjektif, adalah modus.
Aspek
Aspek adalah cara untuk memandang pembentukan waktu secara internal di dalam suatu situasi, keadaan, kejadian, atau proses. Dalam berbagai bahasa aspek merupakan kategori gramatikal karena dinyatakan secara morfemis. Dalam bahasa Indonesia aspek dinyatakan tidak secara morfemis melainkan dengan berbagai cara dan alat leksikal. Dalam bahasa Indonesia aspek juga ada yang sudah dinyatakan secara inhern oleh tipe verbanya.
Berbagai macam aspek dari berbagai bahasa, antara lain: (1) aspek kontinuatif, yaitu yang menyatakan perbuatan terus berlangsung; (2) aspek inseptif, yaitu yang menyatakan peristiwa atau kejadian yang baru mulai; (3) aspek progresif, yaitu aspek yang menyatakan perbuatan sedang berlangsung; (4) aspek repetitif, yaitu yang menyatakan perbuatan itu terjadi berulang-ulang; (5) aspek perefektif, yaitu yang menyatakan perbuatan sudah selesai; (6) aspek imperfektif, yaitu yang menyatakan perbuatan berlangsung sebentar; dan (8) aspek sesatif, yaitu yang menyatakan perbuatan berakhir.
Kala
Kala atau tenses adalah informasi dalam kalimat yang menyatakan waktu terjadinya perbuatan, kejadian, tindakan, atau pengalaman yang disebutkan di dalam predikat. Kala ini lazimnya menyatakan waktu sekarang, sudah lampau, dan akan datang. Beberapa bahasa menandai kala itu secara morfemis; artinya, pertanyaan kala itu ditandai dengan bentuk kata tertentu pada verbanya.
Bahasa Indonesia tidak menandai kala secara morfemis, melainkan secara leksikal.
Dalam bahasa Indonesia banyak orang yang mengelirukan konsep kala dengan konsep keterangan waktu sebagai fungsi sintaksis; sehingga mereka mengatakan kala sudah, sedang, dan akan adalah keterangan waktu. Padahal keterangan waktu, dan keterangan lainnya, sebagai fungsi sintaksis memberi keterangan terhadap keseluruhan kalimat. Posisinya pun dapat dipindahkan ke awal kalimat atau ke tempat lain; sedangkan kala terikat pada verbanya atau predikatnya. Penyebab kekeliruan itu barangkali karena kata-kata seperti sudah, sedang, dan akan itu “sejenis” dengan kata-kata kemarin, tadi, dan besok yang menyatakan waktu; dan kata yang terakhir ini memang dapat mengisi fungsi keterangan. Mungkin juga karena dalam tata bahasa tradisional, istilah keterangan digunakan untuk dua macam konsep, yaitu konsep fungsi sintaksis, dan konsep kategori sintaksis.
Modalitas
Modalitas adalah keterangan dalam kalimat yang menyatakan sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan, yaitu mengenai perbuatan, keadaan, dan peristiwa; atau juga sikap terhadap lawan bicaranya. Sikap ini dapat berupa pernyataan kemungkinan, keinginan, atau juga keizinan. Dalam bahasa Indonesia dan sejumlah bahasa lain, modalitas dinyatakan secara leksikal.
Dalam kepustakaan linguistik dikenal adanya beberapa jenis modalitas; antara lain (1) modalitas intensional, yaitu modalitas yang menyatakan keinginan, harapan, permintaan, atau juga ajakan; (2) modalitas epistemik, yaitu modalitas yang menyatakan kemungkinan, kepastian, dan keharusan; (3) modalitas deontik, yaitu modalitas yang menyatakan keizinan atau keperkeaan; dan (4) modalitas diamik, yaitu modalitas yang menyatakan kemampuan.
Fokus
Fokus adalah unsur yang menonjolkan bagian kalimat sehingga perhatian pendengar atau pembaca tertuju pada bagian itu. Ada bahasa yang mengungkapkan fokus ini secara morfemis, dengan menggunakan afiks tertentu; tetapi ada pula yang menggunakan cara lain.
Dalam bahasa Indonesia fokus kalimat dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: Pertama, dengan memberi tekanan pada bagian kalimat yang difokuskan. Kedua, dengan mengedepankan bagian kalimat yang difokuskan. Ketiga, dengan cara memakai partikel pun, yang, tentang, dan adalah pada bagian kalimat yang difokuskan. Keempat, dengan mengontraskan dua bagian kalimat. Kelima, dengan menggunakan konstruksi posesif anaforis beranteseden.
Diatesis
Diatesis adalah gambaran hubungan antara pelaku atau peserta dalam kalimat dengan perbuatan yang dikemukakan dalam kalimat itu.
Ada beberapa macam diatesis, antara lain, (1) diatesis aktif, yakni jika subjek yang berbuat atau melakukan suatu perbuatan; (2) diatesis pasif, jika subjek berbuat atau melakukan sesuatu terhadap dirinya sendiri; (3) diatesis refleksi, yakni jika subjek berbuat atau melakukan sesuatu terhadap dirinya sendiri; (4) diatesis resiprokal, yakni jika subjek yang terdiri dari dua pihak berbuat tindakan berbalasan; dan (5) diatesis kausatif, yakni jika subjek menjadi penyebab atas terjadinya sesuatu.
WACANA
Pengertian wacana
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar.
Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya. Persyaratan gramatikal dapat dipenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina kekohesifan, yaitu adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana sehingga isi wacana apik dan benar.
Alat Wacana
Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif, antara lain: Pertama, konjungsi, yakni alat untuk menghubung-hubungkan bagian-bagian kalimat; atau menghubungkan paragraf dengan paragraf. Kedua, menggunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforis sehingga bagian kalimat yang sama tidak perlu diulang melainkan menggunakan kata ganti. Ketiga, menggunakan elipsis, yaitu penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat kalimat yang lain.
Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan koheren dapat juga dibuat dengan bantuan berbagai aspek semantik, antara lain: Pertama, menggunakan hubungan pertentangan pada kedua bagian kalimat yang terdapat dalam wacana itu. Kedua, menggunakan hubungan generik - spesifik; atau sebaliknya spesifik - generik. Ketiga, menggunakan hubungan perbandingan antara isi kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Keempat, menggunakan hubungan sebab - akibat di antara isi kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Kelima, menggunakan hubungan tujuan di dalam isi sebuah wacana. Keenam, menggunakan hubungan rujukan yang sama pada dua bagian kalimat atau pada dua kalimat dalam satu wacana.
Jenis Wacana
Berkenaan dengan sasarannya, yaitu bahasa lisan atau bahasa tulis, dilihat adanya wacana lisan dan wacana tulis.
Dilihat dari penggunaan bahasa apakah dalam bentuk uraian ataukah bentuk puitik dibagi wacana prosa dan wacana puisi. Selanjutnya, wacana prosa, dilihat dari penyampaian isinya dibedakan menjadi wacana narasi, wacana eksposisi, wacana persuasi dan wacana argumentasi.
Subsatuan Wacana
Dalam wacana berupa karangan ilmiah, dibangun oleh subsatuan atau sub-subsatuan wacana yang disebut bab, subbab, paragraf, atau juga subparagraf. Namun, dalam wacana –wacana singkat sub-subsatuan wacana tidak ada.
CATATAN MENGENAI HIERARKI SATUAN
Urutan hierarki satuan-satuan linguistik bahwa satuan yang satu tingkat lebih kecil akan membentuk satuan yang lebih besar yaitu : wacana, kalimat, klausa, frase, kata, morfem, fonem. Urutan hierarki tersebut adalah urutan normal teoritis. Dalam praktek berbahasa banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan urutan. Kalau dalam urutan normal kenaikan tingkat atau penurunan tingkat terjadi pada jenjang berikutnya yang satu tingkat ke atas atau satu tingkat ke bawah, maka dalam pelompatan tingkat terjadi peristiwa, sebuah satuan menjadi konstituen dalam jenjang, sekurang-kurangnya, dua tingkat di atasnya. Kasus pelapisan tingkat terjadi kalau sebuah konstituen menjadi unsur konstituen pada konstruksi yang tingkatannya sama. Dan kasus penurunan tingkat terjadi apabila sebuah konstituen menjadi unsur konstituen lain yang tingkatannya lebih rendah sari tingkatan konstituen asalnya.