11 March 2010

PENERAPAN PETA KONSEP UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS SISWA PADA PEMBELAJARAN DI KELAS

PENERAPAN PETA KONSEP UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS SISWA PADA PEMBELAJARAN DI KELAS

 Oleh: Akhmad Huda, S.Pd.
(Guru DPK Depag Kab. Pasuruan pada MTs Sunan Giri Prigen Kab. Pasuruan)

Abstrak:  Pada dasarnya, semua anak kreatif, orang tua dan guru hanya perlu menyediakan lingkungan yang benar untuk membebaskan seluruh potensi kreatifnya. Di dalam pendidikan anak, orang tua dan guru bukanlah pengajar. Orang tua dan guru diharapkan memberikan stimulasi pada anak, sehingga terjadi proses pembelajaran yang berpusat pada anak. Stimulasi dapat diberikan dengan cara memberikan kesempatan pada anak untuk menjadi kreatif. Biarkan anak dengan bebas melakukan, memegang, menggambar, membentuk, ataupun membuat dengan caranya sendiri dan menguraikan pengalamannya sendiri. Bebaskan daya kreatif anak dengan membiarkan anak menuangkan imajinasinya. Ketika anak mengembangkan keterampilan kreatif, maka anak tersebut juga dapat menghasilkan ide-ide yang inovatif dan jalan keluar dalam menyelesaikan masalah serta meningkatkan kemampuan dalam mengingat sesuatu.
Kata Kunci: Konsep, Peta Konsep
Suatu cara yang mampu menyalakan percikan-percikan kreativitas anak adalah dengan membebaskan anak menuangkan pikirannya. Salah satu cara adalah dengan menggunakann peta konsep. Peta konsep akan membuat rangkaian yang bermakna, sehingga ingatan lebih kuat untuk menyimpannya. Dan tidak mungkin seseorang dapat menghubungkan sesuatu (konsep) apabila orang tidak mengerti benar akan konsep tersebut.. Seseorang yang telah dapat mengkaitkan konsep-konsep menunjukkan orang tersebut telah faham benar dengan konsep yang dimengertinya, karena peta konsep menggambarkan bagaimana konsep-konsep saling terkait atau berhubung-hubungan.
Menurut Dahar (1988:116) pembentukan konsep-konsep mengizinkan kita untuk mengatur dan menyederhanakan lingkungan kita. Konsep-konsep merupakan dasar-dasar untuk berpikir, untuk belajar aturan-aturan, dan akhirnya untuk memecahkan masalah. Tanpa konsep-konsep tak mungkin kita mengajar.
Guru hendaknya menentukan konsep-konsep yang akan diajarkannya kepada para siswa, tingkat-tingkat pencapaian konsep yang diharapkan dari para siswa, dan metode mengajar yang akan digunakan. Pengetahuan tentang perkembangan kognitif dan perkembangan bahasa akan menolong dalam membuat keputusan-keputusan ini. Analisis konsep dapat digunakan untuk merencanakan pengajaran, dan untuk menentukan apakah para siswa telah mencapai konsep-konsep pada tingkat yang sesuai. Pencapaian konsep memperlancar belajar melalui proses-proses transfer.
Pengertian Peta Konsep
Peta konsep merupakan salah satu bagian dari strategi organisasi. Strategi organisasi bertujuan membantu pebelajar meningkatkan kebermaknaan bahan-bahan organisasi bertujuan membantu pebelajar meningkatkan kebermaknaan bahan-bahan baru, terutama dilakukan dengan mengenalkan struktur-struktur pengorganisasian baru pada bahan-bahan tersebut. Strategi-strategi organisasi dapat terdiri dari pengelompokan ulang ide-ide atau istilah-istilah atau membagi ide-ide atau istilah-istilah itu menjadi subset yang lebih kecil. Strategi- strategi ini juga terdiri dari pengidentifikasian ide-ide atau fakta-fakta kunci dari sekumpulan informasi yang lebih besar.
Salah satu pernyataan dalam teori Ausubel adalah bahwa faktor yang paling penting yang mempengaruhi pembelajaran adalah apa yang telah diketahui siswa (pengetahuan awal). Jadi supaya belajar jadi bermakna, maka konsep baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang ada dalam struktur kognitif siswa (Suryadi  menambahkan di sini –> Ini yang disebut Teknik Konstruktivisme). Ausubel belum menyediakan suatu alat atau cara yang sesuai yang digunakan guru untuk mengetahui apa yang telah diketahui oleh para siswa (Dahar, 1988: 149). Berkenaan dengan itu Novak dan Gowin (1985) dalam Dahar (1988: 149) mengemukakan bahwa cara untuk mengetahui konsep-konsep yang telah dimiliki siswa, supaya belajar bermakna berlangsung dapat dilakukan dengan pertolongan peta konsep.
Konsep dapat didefinisikan dengan bermacam-macam rumusan. Salah satunya adalah defenisi yang dikemukakan Carrol dalam Kardi (1997: 2) bahwa konsep merupakan suatu abstraksi dari serangkaian pengalaman yang didefinisikan sebagai suatu kelompok obyek atau kejadian. Abstraksi berarti suatu proses pemusatan perhatian seseorang pada situasi tertentu dan mengambil elemen-elemen tertentu, serta mengabaikan elemen yang lain.
George Posner dan Alan Rudnitsky dalam Nur (2001b: 36) menyatakan bahwa peta konsep mirip peta jalan, namun peta konsep menaruh perhatian pada hubungan antar ide-ide, bukan hubungan antar tempat. Peta konsep bukan hanya meggambarkan konsep-konsep yang penting melainkan juga menghubungkan antara konsep-konsep itu. Dalam menghubungkan konsep-konsep itu dapat digunakan dua prinsip, yaitu diferensiasi progresif dan penyesuaian integratif. Menurut Ausubel dalam Sutowijoyo (2002: 26) diferensiasi progresif adalah suatu prinsip penyajian materi dari materi yang sulit dipahami. Sedang penyesuaian integratif adalah suatu prinsip pengintegrasian informasi baru dengan informasi lama yang telah dipelajari sebelumnya. Oleh karena itu belajar bermakna lebih mudah berlangsung, jika konsep-konsep baru dikaitkan dengan konsep yang inklusif.
Konsep-konsep yang diajarkan di sekolah pada umumnya memenuhi persyaratan yang dikemukakan oleh Klausmeier yaitu tingkat konkrit, tingkat identitas, tingkat klasifikatori, dan tingkat formal. Uraian tentang tingkat pencapaian konsep Klausmeier diuraikan sebagai berikut (1) Tingkat konkrit. Kita dapat menyimpulkan, bahwa seseorang telah mencapai konsep pada tingkat konkrit, apabila orang itu mengenal suatu benda yang telah dihadapi sebelumnya. Untuk mencapai konsep tingkat konkrit, siswa harus dapat memperhatikan benda itu, dari stimulus-stimulus yang ada di lingkungannya. Selanjutnya ia harus menyajikan benda itu sebagai suatu gambaran mental, dan menyimpan gambaran mental itu, (2) Tingkat identitas. Pada tingkat identitas, seorang akan mengenal objek a) sesudah selang suatu waktu, b) bila orang itu mempunyai orientasi ruang yang berbeda terhadao objek itu, atau c) bila objek itu ditentukan melalui suatu cara indera yang berbeda, misalnya, mengenal suatu bola dengan cara menyentuh bola itu dengan meihatnya, (3) Tingkat klasifikatori. Pada tingkat klasifikatori siswa mengenal persamaan dari dua contoh yang berbeda dari kelas yang sama, dan (4) Tingkat formal. Untuk pencapaian konsep pada tingkat formal, siswa harus dapat menentukan atribut-atribut yang membatasi konsep.
Ciri-ciri Peta Konsep
    Untuk membuat suatu peta konsep, siswa dilatih untuk mengidentifikasi ide-ide kunci yang berhubungan dengan suatu topik dan menyusun ide-ide tersebut dalam suatu pola logis. Kadang-kadang peta konsep merupakan diagram hirarki, kadang peta konsep itu memfokus pada hubungan sebab akibat. Agar pemahaman terhadap peta konsep lebih jelas, maka dalam bagian ini akan dikemukakan beberapa ciri peta konsep yaitu, (1) Peta konsep atau pemetaan konsep ialah suatu cara untuk memperhatikan konsep-konsep suatu bidang studi. Dengan membuat sendiri peta konsep, siswa “melihat” bidang studi itu lebih jelas, dan mempelajari bidang studi itu lebiih bermakna, (2) Suatu peta konsep merupakan suatu gambar dua dimensi dari suatu bidang studi, atau suatu bagian dari bidang studi. Hal inilah yang membedakan belajar bermakna dari belajar dengan cara mencatat pelajaran tanpa memperhatikan hubungan antara konsep-konsep, dan dengan demikian hanya memperlihatkan gambar satu dimensi saja,  (3) Ciri yang ketiga ialah mengenai cara menyatakan hubungan antara konsep-konsep. Tidak semua konsep mempunyai bobot yang sama. Ini berarti, bahwa ada beberapa konsep yang lebih inklusif dari pada konsep-konsep yang lain, dan  (4) Ciri keempat peta konsep ialah tentang hirarki Bila dua atau lebih konsep digambarkan di bawah suatu konsep yang lebih inklusif, terbentuklah suatu hirarki pada peta konsep tersebut.
Peta konsep dapat menunjukkan secara visual berbagai jalan yang dapat ditempuh dalam menghubungkan pengertian konsep di dalam permasalahanya. Peta konsep yang dibuat murid dapat membantu guru untuk mengetahui miskonsepsi yang dimiliki siswa dan untuk memperkuat pemahaman konseptual guru sendiri dan disiplin ilmunya. Selain itu peta konsep merupakan suatu cara yang baik bagi siswa untuk memahami dan mengingat sejumlah informasi baru (Arends, 1997: 251).
Menyusun Peta Konsep
    Peta konsep memegang peranan penting dalam belajar bermakna, karena itu hendaknya setiap siswa pandai menyusun peta konsep untuk menyakinkan bahwa pada siswa itu telah berlangsung belajar bermakna.
    Beberapa langkah yang harus diikuti dalam menyusun peta konsep, yaitu: (1) Pilihlah suatu bacaan dari buku pelajaran, (2) Tentukan konsep-konsep yang relevan, (3) Urutkan konsep-konsep itu dari yang paling inklusif ke yang paling tidak inklusif atau contoh-contoh, (4) Susunlah konsep-konsep itu di atas kertas, mulai dengan konsep yang paling inklusif di puncak ke konsep yang paling tidak iklusif, dan (5) Hubungkanlah konsep-konsep itu dengan kata atau kata-kata penghubung.
    Menurut Suyanto (2009:23) peta konsep dimaksudkan agar siswa lebih terampil untuk menggali pengetahuan awal yang sudah dimiliki dan memperoleh pengetahuan baru sesuai pengalaman belajarnya. Adapun langkahnya adalah sebagai berikut: (1) Guru memberikan satu konsep utama (major event/idea/koncept), (2) Siswa diminta mengembangkan konsep tersebut menjadi sub-sub konsep yang berkaitan (sub events/ideas/concepts), (3) Susunlah konsep, sub konsep, sub-sub konsep sesaui dari yang paling umum (utama) ke konsep yang lebih spesifik, dan (4) susunlah dalam bentuk tulisan/laporan, dengan mengkaitkan sub ide-ide terebut dan didefinisikan bila perlu.
Kegunaan Peta Konsep
    Dalam pendidikan peta konsep dapat diterapkan untuk berbagai tujuan, antara lain: Pertama, menyelediki apa yang telah diketahui siswa. Telah dikemukakan terdahulu, bahwa belajar bermakna membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh dari pihak siswa untuk menghubungkan pengetahuan baru dengan konsep-konsep relevan yang telah mereka miliki. Untuk memperlancar proses ini guru harus mengetahui konsep-konsep apa yang telah dimiliki siswa waktu pelajaran akan dimulai, sedangkan para siswa diharapkan dapat menunjukkan di mana mereka berada, atau konsep-konsep apa yang telah mereka miliki dalam menghadapi pelajaran baru itu.
    Kedua, belajar bagaimana belajar. Bila seorang siswa dihadapkan pada suatu bab dari buku pelajaran ia tidak akan begitu saja memahami apa yang dibacanya. Dengan diminta untuk menyusun peta konsep dari isi bab itu, ia akan berusaha untuk mengeluarkan konsep-konsep dari apa yang dibacanya, menempatkan konsep yang paling inklusif pada puncak peta konsep yang dibuatnya, kemudian mengurutkan konsep-konsep yang lain yang kurang inklusif pada konsep yang paling inkulusif, dan demikian seterusnya.
    Ketiga, mengungkapkan konsepsi salah. Selain keguanaan-kegunaan yang telah disebutkan di atas, peta konsep dapat pula mengungkapkan konsep salah yang terjadi pada siswa. Konsep salah biasanya timbul karena terdapat kaitan antara konsep-konsep yang mengakibatkan proposisi yang salah. Keempat, alat evaluasi. Selama ini alat-alat evaluasi yang dikenal oleh guru dan siswa terutama berbentuk tes objektif atau tes esai. Walaupun cara evaluasi ini akan terus memegang peranan dalam dunia pendidikan, teknik-teknik evaluasi baru perlu dipikirkan untuk memecahkan masalah-masalah evaluasi yang kita hadapi dewasa ini. Salah satu teknik evaluasi yang disarankan dalam buku ini ialah penggunaan peta konsep.
    Penggunaan peta konsep sebagai alat evaluasi didasarkan pada tiga gagasan dalam teori kognitif Ausubel yaitu (a) Struktur kognitif itu diatur secara hirarki dengan konsep-konsep yang lebih inklusif, (b) Konsep-konsep dalam struktur kognitif mengalami diferensiasi progresif. Prinsip Ausubel ini menyatakan, bahwa belajar bermakna merupakan proses kontinu. Jadi konsep-konsep tidak pernah “tuntas dipelajari” tetapi selalu dipelajari, dimodifikasi, dan dibuat lebih inklusif, (c) penyesuaian integratif. Prinsip belajar ini menyatakan, bahwa belajar bermakna akan meningkat, bila siswa menyadari hubungan-hubungan baru (kaitan-kaitan konsep) antara kumpulan-kumpulan konsep-konsep yang berhubungan. Dari uraian tersebut dapat dikemukakan secara ringkas, bahwa Novak (1985) dalam Dahar (1988:161) memperhatikan empat kriteris penilaian, yaitu: (1) kesahihan konsep, (2) adanya hirarki, (3) adanya kaitan silang, dan (4) adanya contoh-contoh.
Simpulan
    Berlangsung atau tidaknya belajar bermakna tergantung pada struktur kognitif yang ada, serta kesiapan dan niat anak didik untuk belajar bermakna, dan kebermaknaan materi pelajaran secara potensial.
    Untuk menerapkan teori Ausubel dalam mengajar, guru perlu memperhatikan adanya pengatur awal pada awal pelajaran, dalam mengaitkan konsep-konsep. Atas dasar teori Ausubel, Novak mengemukakan gagasan peta konsep yang menyatakan hubungan antara konsep-konsep untuk menolong guru mengetahui konsep-konsep yang telah dimiliki para siswa agar belajar bermakna dapat berlangsung, untuk mengetahui penguasaan konsep-konsep pada siswa, dan untuk menolong para siswa belajar bagaimana belajar.





Daftar Rujuan
Dahar, Ratna Wilis. 1988. Teori-teori Belajar. Bandung: P2LPTK
Suyanto, Kasihani K. E. Suyanto. 2009. Model Pembelajaran. Malang: Universitas Negeri Malang
Holil, Anwar. 2008. Peta Konsep untuk Mempermudah Konsep Sulit dalam Pembelajaran. (Online), (http//www.pkab.wordpress.com diakses 10 Februari 2010)

Proses Pembudayaan melalui Pendidikan Formal

Proses Pembudayaan melalui Pendidikan Formal
Oleh: Akhmad Huda, S.Pd.
(Guru MTs Ma'arif Sunan Giri Prigen Kab. Pasuruan)


Abstrak: Sekolah atau pendidikan formal adalah salah satu saluran atau media dari proses pembudayaan Media lainnya adalah keluarga dan institusi lainnya yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah pendidikan disebut sebagai proses untuk “memanusiakan manusia” tepatnya “memanusiakan manusia muda” (meminjam istilah Dick Hartoko). Sementara itu, kalangan antropolog dan ilmuwan sosial lainnya melihat bahwa pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan dan mensosialisasikan manusia sebagaimana yang kita kenal dengan proses enkulturasi (pembudayaan) dan sosialisasi (proses membentuk kepribadian dan perilaku seorang anak menjadi anggota masyarakat sehingga anak tersebut diakui keberadaanya oleh masyarakat yang bersangkutan).

Kata Kunci: Proses, Budaya, Kebudayaan, Pendidikan, Pendidikan Formal

Pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia agar dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik secara pribadi, kelompok, maupun masyarakat secara keseluruhan. Daoed Joesoef memandang pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena kehidupan adalah kelseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa yang kita lakukansebagai manusia, yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus dilakukan oleh setiap orang, menetapkan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai makhluk bio-sosial.
Pendidikan adalah upaya menanamkan sikap dan keterampilan pada anggota masyarakat agar mereka kelak mampu memainkan peranan sesuai dengan kedudukan dan peran sosial masing-masing dalam masyarakat. Secara tidak langsung, pola ini menjadi proses melestarikan suatu kebudayaan. Sejalan dengan ini, Bertrand Russel mengatakan pendidikan sebagai tatanan sosial kehidupan bermasyarakat yang berbudaya. Melalui pendidikan kita bisa membentuk suatu tatanan kehidupan bermasyarakat yang maju, modern, tentram dan damai berdasarkan nilai-nilai dan norma budaya. Ibnu Khaldun mempertegas lagi bahwa pendidikan dan pengajaran sebagai salah satu gejala sosial yang memberi ciri masyarakatnya-masyarakat maju.
Lebih jauh, Ibnu khaldun membagi ilmu dan pengajaran ke dalam berbagai kategori, yaitu (1) ilmu Naqli yang bersumber pada Kitab Alqur’an dan Sunnah, (2) ilmu Aqli (ilmu yang berhubungan dengan otak) terdiri dari ilmu fisika (ilmu tentang benda), ilmu ilahiyat (ketuhanan atau metafisika), ilmu matematika, ilmu musik “ pengetahuan tentang asal-usul ritme, ilmu hay’ah (astronomi), (3) ilmu logika yaitu ilmu yang memilihara otak dari kesalahan. Sejalan dengan ini, konsep agama tentang pendidikan pada hakekatnya upaya untuk hijrah dari sifat-sifat negatif seperti kebodohan, iri, dengki, sombong, congkak, boros, tidak efisien, emosional, dsb. Ke sifat-sifat yang positif seperti cerdas, tenggang rasa, teliti, efisien, berpikiran maju dan bertindak atas dua dasar aturan yaitu hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan Allah.
Semua sifat positif yang diharapkan tersebut diwujudkan dalam bentuk perilaku yang religius, cekatan, terampil, dapat membedakan yang baik dan yang buruk, yang salah dan benar, menghargai semua hal yang menjadi bahagian kehidupan di alam ini termasuk segala bentuk perbedaan di antara kita sesama manusia. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat pada saat yang tepat, serta mampu mengembangkan potensi diri dalam upaya meningkatkan kualitas pribadi, keluarga, kelompok, agama, bangsa dan negara. Semua ini merupakan unsur pokok dalam proses pembentukan masyarakat yang sejahtera, survive, adil, makmur, dan penuh kedamaian.
Untuk mewujudkan hal tersebut, para penyelenggara pendidikan harus yakin bahwa program dan proses pembelajaran dapat menggiring siswa agar mampu menggunakan segala apa yang telah dimilikinya –yang diperoleh selama proses belajar– sehingga bermanfaat dalam kehidupan selanjutnya, baik kehidupan secara akademis maupun kehidupan sehari-hari. Perlu juga ditekankan di sini bahwa dalam dunia kehidupan nyata, antara kehidupan akademis dan non akademis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itu seharusnya, program dan proses pembelajaran tidak membuat dikotomi (memisahkan secara tegas) di antara keduanya. Semua ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah upaya membangun budaya suatu masyarakat sehingga tercipta kehidupan yang modern, maju, dan harmoni yang didasari oleh nilai-nilai budaya yang diyakini bersama oleh suatu masyarakat.


Budaya dan Kebudayaan
Budaya sering diartikan sebagai “konsep pemikiran”, sementara kebudayaan mencakup semua aspek, konsep pemikiran dan produknya. Koentjaraningrat tidak membedakan itu. Secara etimologis, “Budaya berasal dari kata budi dan daya (budi daya) atau daya (upaya atau power) dari sebuah budi, kata budaya digunakan sebagai singkatan dari kebudayaan dengan arti yang sama” (Koentjaraningrat, 1980:81-82). Dalam bahasa Inggris disebut dengan culture, berasal dari bahasa latin colere yang berarati mengolah atau megerjakan, dengan demikian culture diartikan sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah alam (Ibid: 182). Dalam kamus Bahasa Indonesia, juga tidak terlihat dengan tegas perbedaan pengertian budaya dan kebudayaan. “budaya diartikan sebagai buah atau hasil pikiran/akal budi”. Kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan bathin (akal budi) manusia , seperti kepercayaan, kesenian, dan atat istiadat (Pusbinbangsa, 1983).
Dalam kajian lebih jauh, Irianto (1997: 56-57) , setidaknya ada dua aliran dalam pendefinisian kebudayaan, yaitu positivisme dan interpretivisme. Perbedaan mendasar pada kedua aliran tersebut terletak pada paradigma tentang hubungan manusia dengan alam sekitar. Aliran positivisme memandang manusia sebagai bagian dari alam yang tunduk pada hukum-hukum sosial, perilakunya dapat dipelajari melalui pengamatan dan diatur oleh sebab-sebab eksternal. Sebaliknya aliran interpretivisme memandang manusia sebagai anggota-anggota masyarakat yang saling membagikan suatu sistem sosial dan sistem makna. Manusia mendiuduki posisi sentral, kenyataan dan relaitas social merupakan hasil ciptaan manusia yang diatur melalui sistem makna. Koentjaraningrat dikelompokkan ke dalam aliran positivisme yang mengartikan budaya atau kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan mesayarakat yang dijadikan milik diri manusia melalui proses belajar.
Berdasarkan pendapat tersebut, batasan antara pengertian budaya dengan kebudayaan tidak terlihat dengan tegas. Terlepas dari perdebatan itu, dalam tulisan ini pengertian budaya lebih kepada sistem nilai dan norma yang mendasari perilaku manusia, sebagaimana yang dikemukakan oleh Daoed Joesoef (1982), “budaya merupakan sistem nilai dan ide yang dihayati oleh sekelompok manusia di suatu lingkungan hidup tertentu di suatu kurun tertentu”. Sementara kebudayaan diartikan sebagai semua hal yang terkait dengan budaya. Dalam konteksi tinjauan budaya dilihat dari tiga aspek, yaitu pertama, budaya yang universal yaitu berkaitan niliai-nilai universal yang berlaku di mana saja yang berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi. Kedua, budaya nasional, yaitu nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia secara nasional. Ketiga, budaya lokal yang eksis dalam kehidupan masayarakat setempat. Ketiga aspek ini terkait erat dengan sistem pendidikan sebagai wahana dan proses pewarisan budaya.

Peran Budaya dalam Pendidikan
Transformasi menjadi kunci dari penciptaan makna dan pengembangan pengetahuan. Dengan demikian, peran budaya dalam pendidikan bukan sekedar mentransfer dan menyampaikan budaya  atau perwujudan budaya kepada siswa, tetapi menggunakan budaya  untuk menjadikan siswa mampu menciptakan makna.  Budaya, dalam berbagai perwujudannya, secara instrumental  dapat berfungsi sebagai media pembelajaran dalam proses belajar.
Perwujudan budaya dapat memberikan  suasana baru yang menarik untuk mempelajari suatu bidang ilmu.  Sebagai media pembelajaran, budaya dan beragam perwujudannya dapat  menjadi konteks dari contoh tentang konsep atau prinsip dalam suatu  matapelajaran, serta menjadi konteks penerapan prinsip atau dalam suatu  matapelajaran.  Pada akhirnya, jika siswa telah mampu menguasai bidang ilmu  secara kontekstual dalam komunitas budayanya maka komunitas budaya  menjadi konteks dan kerangka berpikir untuk menerapkan beragam  pengetahuan dan keterampilan ilmiah bidang ilmu sebagai alat  pemecahan masalah serta alat pengembangan komunitas budayanya.

Proses Pembudayaan dalam Pendidikan
Proses pembudayaan (enkulturasi) adalah upaya membentuk perilaku dan sikap seseorang yang didasari oleh ilmu pengetathuan, keterampilan sehingga setiap individu dapat memainkan perannya masing-masing. Dengan demikian, ukuran keberhasilan pembelajaran dalam konsep enkulturasi adalah perubahan perilaku siswa. Hal ini sejalan dengan 4 (empat) pilar pendidikan yang dikemukakan oleh Unesco, Belajar bukan hanya untuk tahu (to know), tetapi juga menggiring siswa untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh secara langsung dalam kehidupan nyata (to do), belajar untuk membangun jati diri (to be), dan membentuk sikap hidup dalam kebersamaan yang harmoni (to live together). Untuk itu, pembelajaran berlangsung secara konstruktivis (developmental) yang didasari oleh pemikiran bahwa setiap individu peserta didik merupakan bibit potensial yang mampu berkembang secara mandiri. Tugas pendidikan adalah memotivasi agar setiap anak mengenali potensinya sedini mungkin dan menyediakan pelayanan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki serta mengarahkan pada persiapan menghadapi tantangan ke depan. Pendidikan mengarah pada pembentukan karakter, performa yang konkrit (observable) dan terukur (measurable) yang berkembang dalam tiga ranah kemampuan, yaitu: kognitif, psikomotor, dan afektif. Pengembangan kemampuan pada ketiga ranah tersebut dilihat sebagai suatu kesatuan yang saling melengkapi.
Proses pembudayaan terjadi dalam bentuk pewarisan tradisi budaya dari satu generasi kepada generasi berikutnya dan adopsi tradisi budaya oleh orang yang belum mengetahui budaya tersebut sebelumnya. Pewarisan tradisi budaya dikenal sebagai proses enkulturasi (enculturation) sedangkan adopsi tradisi budaya dikenal sebagai proses akulturasi  (aculturation). Ke dua proses tersebut berujung pada pembentukan budaya dalam suatu komunitas.
Proses pembudayaan enkulturasi biasanya terjadi secara informal dalam keluarga, komunitas budaya suatu suku, atau budaya suatu wilajah. Proses pembudayaan enkulturasi dilakukan oleh orang tua atau orang yang dianggap senior terhadap anak-anak, atau terhadap orang yang dianggap lebih muda. Tata krama, adat istiadat, keterampilan suatu suku/keluarga biasanya diturunkan kepada generasi berikutnya melalui proses enkulturasi.
Sementara itu, proses akulturasi biasanya terjadi secara formal melalui pendidikan seseorang yang tidak tahu, diberi tahu dan disadarkan akan keberadaan suatu budaya, dan kemudian orang tersebut mengadopsi budaya tersebut; misalnya seseorang yang baru pindah ke tempat baru, maka ia akan mempelajari bahasa, budaya, dan kebiasaan dari masyarakat ditempat baru tersebut, lalu ia akan berbahasa dan berbudaya, serta melakukan kebiasaan sebagaimana masyarakat itu.
Pendidikan merupakan proses pembudayaan dan pendidikan juga dipandang sebagai alat untuk perubahan budaya. Proses pembelajaran di sekolah merupakan proses pembudayaan yang formal (proses akulturasi). Proses akulturasi bukan semata-mata transmisi budaya dan adopsi budaya tetapi juga perubahan  budaya. Sebagaimana diketahui, pendidikan menyebabkan terjadinya beragam perubahan dalam bidang sosial budaya, ekonomi, politik, dan agama. Namun, pada saat bersamaan, pendidikan juga merupakan alat  untuk konservasi budaya – transmisi, adopsi, dan pelestarian budaya. Mengingat besarnya peran pendidikan dalam proses akulturasi maka pendidikan menjadi sarana utama pengenalan beragam budaya baru yang kemudian akan diadopsi oleh sekelompok siswa dan kemudian dikembangkan serta dilestarikan.

Penutup
Untuk menjamin kekonsistenan antara tujuan pendidikan dengan pembentukan manusia yang berbudaya (enkulturasi), perlu dirancang desain pembelajaran di sekolah yang tidak terlepas dari kondisi kehidupan nyata. Antara dunia pendidikan dan dunia nyata terkait dengan hubungan sinergis. Dengan demikian, antara nilai-nilai yang ditanamkan dengan pengetahuan akademis terikat dengan hubungan yang kontinum. Tidak satupun dari komponen ilmu pengetahuan yang terlepas dari nilai dan norma budaya.
Pendidikan formal adalah salah satu media proses pembudayaan (enkulturasi). Manusia yang berbudaya adalah manusia yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap sehingga mereka mampu berpikir secara rasional, kritis, dan memiliki karakter serta kepribadian yang cina pada keharmonian kehidupan.