20 April 2012

MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN PENDEKATAN SAVI


MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN PENDEKATAN SAVI

 Oleh: Akhmad Huda, M.Pd.
(Guru DPK Kemenag Kab. Pasuruan pada MTs NU Sunan Giri Prigen Kab. Pasuruan)

Abstrak:  Belajar merupakan proses yang aktif yaitu proses mereaksi terhadap semua situasi di sekitar siswa. Mengajar merupakan suatu aktivitas mengatur dan mengorganisasi lingkungan sehingga mendorong siswa untuk belajar. Dua istilah “belajar-mengajar” menurut Dewey tidak dapat dipisahkan. Dewey dalam Sanjaya (2007:102) mengistilahkannya sebagai “Teaching is to Learning as Selling is to Buying. Belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi ke kepala seorang siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan pelajar itu sendiri (Silberman, 2002:XXI). Pengembangan potensi-potensi siswa dalam proses belajar, harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu (Aunurrohman, 4:2009). Pengembangan potensi siswa secara tidak seimbang dapat menjadikan pendidikan cenderung lebih peduli pada pengembangan satu aspek kepribadian tertentu, bersifat partikular dan parsial.
Kata Kunci: Motivasi, Hasil Belajar, Pendekatan SAVI
Belajar merupakan proses yang aktif yaitu proses mereaksi terhadap semua situasi di sekitar siswa. Mengajar merupakan suatu aktivitas mengatur dan  mengorganisasi lingkungan sehingga mendorong siswa untuk belajar. Dua istilah “belajar-mengajar” menurut Dewey tidak dapat dipisahkan. Dewey dalam Sanjaya (2007:102) mengistilahkannya sebagai “Teaching is to Learning as Selling is to Buying”. Belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi ke kepala seorang siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan pelajar itu sendiri (Silberman, 2002:XXI). Pengembangan potensi-potensi siswa dalam proses belajar, harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu (Aunurrohman, 4:2009). Pengembangan potensi siswa secara tidak seimbang dapat menjadikan pendidikan cenderung lebih peduli pada pengembangan satu aspek kepribadian tertentu, bersifat partikular dan parsial. Persoalan yang sering muncul dalam pembelajaran adalah bagaimana cara seorang guru mengembangkan, menciptakan serta mengatur situasi yang memungkinkan siswa melakukan proses belajar.
Aunurrahman (2009:9) berpendapat bahwa penempatan guru sebagai satu-satunya sumber informasi, menempatkan siswa tidak sebagai individu yang dinamis akan tetapi lebih sebagai obyek yang pasif, sehingga potensi keindividualannya tidak dapat berkembang secara optimal. Padahal, tujuan pembelajaran adalah untuk mencerdaskan dan memberdayakan siswa. Menurut Tilaar (2000:21) siswa yang berdaya adalah siswa yang dapat berpikir kreatif, mandiri, dapat membangun dirinya dan masyarakatnya kelak.
Menurut Dimyati dan Mujiono (2002:17) “Dominan guru dalam proses pembelajaran menyebabkan siswa terlibat secara pasif“. Mereka lebih banyak menunggu sajian dari guru dari pada mencari dan menemukan sendiri pengetahuan, keterampilan dan sikap yang mereka butuhkan. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan dalam pembelajaran yang lebih mengarahkan pada kegiatan siswa supaya siswa tidak lagi dipandang sebagai obyek pegajaran melainkan dipandang sebagai subyek yang aktif.
Joyce dkk (2009:7), mendefinisikan bahwa guru yang sukses merupakan guru yang dapat melibatkan para siswanya dalam tugas-tugas yang sarat muatan kognitif dan sosial serta mengajarkan mereka bagaimana cara mengerjakan tugas-tugas tersebut secara produktif. Sederhananya, guru yang sukses bukan sekedar penyaji yang kharismatik dan persuasif, akan tetapi senantiasa mengajari siswanya bagaimana menyerap dan menguasai informasi yang berasal dari penjelasannya, sedangkan pelajar efektif mampu menggambarkan informasi dan gagasan dari guru mereka.
Uraian di atas menggambarkan bahwa di antara kedua pendekatan pembelajaran tersebut, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa inilah (student-centered approaches) yang lebih memberdayakan siswa dan memberikan peluang kepada siswa untuk aktif dalam pembelajaran. Suyatno (2008) mengemukakan bahwa menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indra dapat melibatkan siswa sepenuhnya dalam pembelajaran sehingga berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa.
Joyce dkk, (2009:4) mengemukakan bahwa cara penerapan suatu pembelajaran akan berpengaruh besar terhadap kemampuan siswa dalam mendidik diri mereka sendiri. Kesesu
ian perlakuan yang didapat dalam sebuah pembelajaran dengan gaya belajar siswa akan lebih meningkatkan minat dan hasil belajar dalam pembelajaran tersebut.
Oleh karena itu perlu upaya untuk menyeimbangkan peran antara guru dan siswa dengan cara menerapkan pendekatan pembelajaran yang lebih memberdayakan siswa dan memberikan peluang kepada siswa untuk aktif dalam pembelajaran. Killen (1998) dalam Sanjaya (2007:125) mencatat ada dua pendekatan dalam pembelajaran, yaitu pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered approaches) dan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered approaches). Juliantara (2009) menjelaskan bahwa jika ditinjau dari segi penyampaian materi, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru dalam pelaksanaanya lebih sering menggunakan pemberian informasi (telling), sedangkan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa di samping menggunakan pemberian informasi (telling) juga menggunakan peragaan (demonstrating) dan memberikan kesempatan untuk menampilkan unjuk kerja secara langsung (doing direct performance).
Pendekatan pembelajaran inilah yang nantinya mengantarkan guru untuk memilih strategi, metode dan teknik yang akan diterapkan dalam pembelajaran dengan tanpa mengenyampingkan kesesuaian karakteristik materi dan gaya belajar siswa. Gaya belajar merupakan suatu kombinasi dari bagaimana ia menyerap, mengatur serta mengolah informasi yang ia dapatkan (Deporter dan Hernacki, 2009:112). Masing-masing siswa memiliki tipe gaya belajar yang berbeda-beda, di antaranya tipe pebelajar visual, auditori dan somatis atau yang biasa dikenal dengan kinestetik. Gaya belajar visual atau sering dikenal dengan pengamatan ini merupakan gaya belajar melalui melihat sesuatu, baik melihat tulisan gambar atau diagram, petunjuk serta film dan video. Tipe gaya belajar ini lebih mengedepankan pada penglihatan secara langsung. Gaya belajar auditori adalah belajar dengan lebih mengedepankan indra pendengaran. Pada gaya ini, belajar bisa dilakukan dengan mendengarkan kaset, ceramah, diskusi, debat dan instruksi verbal. Gaya belajar somatis atau kinestetik merupakan gaya belajar yang lebih mengedepankan pada keterlibatan siswa secara langsung dengan melibatkan aktivitas fisik dan gerakan tubuh seperti suka menari, bergerak, menyentuh, merasakan, dan melakukan sendiri.
Oleh karena itu, perlu adanya perubahan dalam pembelajaran yang lebih mengarahkan pada kegiatan siswa supaya siswa tidak lagi dipandang sebagai obyek pegajaran melainkan dipandang sebagai subyek yang aktif. Joyce dkk (2009:7), mendefinisikan bahwa guru yang sukses merupakan guru yang dapat melibatkan para siswanya dalam tugas-tugas yang sarat muatan kognitif dan sosial serta mengajarkan mereka bagaimana cara mengerjakan tugas-tugas tersebut secara produktif. Sederhananya, guru yang sukses bukan sekedar penyaji yang kharismatik dan persuasif, akan tetapi senantiasa mengajari siswanya bagaimana menyerap dan menguasai informasi yang berasal dari penjelasannya, sedangkan pelajar efektif mampu menggambarkan informasi dan gagasan dari guru mereka. Uraian di atas menggambarkan bahwa di antara kedua pendekatan pembelajaran tersebut, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa inilah (student-centered approaches) yang lebih memberdayakan siswa dan memberikan peluang kepada siswa untuk aktif dalam pembelajaran. Suyatno (2008) mengemukakan bahwa menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indra dapat melibatkan siswa sepenuhnya dalam pembelajaran sehingga berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa. Joyce dkk, (2009:4) mengemukakan bahwa cara penerapan suatu pembelajaran akan berpengaruh besar terhadap kemampuan siswa dalam mendidik diri mereka sendiri. Kesesuain perlakuan yang didapat dalam sebuah pembelajaran dengan gaya belajar siswa akan lebih meningkatkan minat dan hasil belajar dalam pembelajaran tersebut. Pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa dan juga dapat mengakomodir semua tipe gaya belajar adalah pendekatan SAVI.
Pendekatan SAVI
Pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh anak berdiri dan bergerak. Akan tetapi menggabungkan gerak fisik dengan aktivitas intelektual dan pengunaan semua indra dapat berpengaruh besar terhadap pembelajaran. Penelitian dr. Vernon magnesen, dari Universitas Texas tentang ingatan, memberikan gambaran yang dapat diilustrasikan sebagai berikut :



Bobbi De Porter, dkk, 2005, dalam bukunya Quantum Learning, mengemukakan tiga (3) modalitas belajar yang dimiliki seseorang. Ketiga modalitas tersebut adalah modalitas visual, modalitas auditoral, dan modalitas kinistetik (somatis). Pelajar visual belajar melalui apa yang mereka lihat, pelajar auditorial melakukan melalui apa yang mereka dengar, dan pelajaran kinestetik belajar lewat gerak dan sentuhan.
Beberapa ciri-ciri yang mencerminkan gaya belajar tersebut adalah:
a.        Belajar visual senang menggambar diagram, gambar, dan grafik, serta menonton film. Mereka juga suka membaca kata tertulis, buku, poster berslogan, bahan belajar berupa teks tertulis yang jelas.
b.       Pembelajaran auditori dengan mendengar informasi baru melalui penjelasan lisan, komentar dan kaset. Mereka senang membaca teks kunci dan merekamnya di kaset
c.        Pembelajaran fisik (somatis) senang pembelajaran praktik supaya bisa langsung mencoba sendiri. Mereka suka berbuat saat belajar, misalnya: menggaris bawahi,mencorat-coret, menggambarkan, (Colin Rose, 2003)
Dave Meier, 2005 , menambahkan satu lagi gaya belajar intelektual. Gaya belajar intelektual bercirikan sebagai pemikir. Pembelajar menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan, makna, rencana, dan nilai dari pengalaman tersebut. “ Intelektual” adalah bagian diri yang merenung, mencipta, memecahkan masalah, dan membangun makna. Itulah sarana yang digunakan pikiran untuk mengubah pengalaman menjadi pengetahuan, pengetahuan menjadi pemahaman, dan pemahaman menjadi kearifan.
Teori yang mendasari Meier dalam mencetuskan pendekatan SAVI adalah teori belajar aktif yang diistilahkan Meier (2002:90) dengan ”Belajar Berdasarkan Aktivitas” (BBA). Teori ini dilatarbelakangi oleh pendidikan di New England pada abad ke-19 yang cenderung memandang manusia hanya sebagai tubuh dan pikiran (Meier, 2002:56). Aktivitas tubuh dan pikiran dipisahkan dalam kegiatan belajar sehingga pembelajaran berlangsung kaku dan tidak menyenangkan. Selain itu, pendidikan di New England pada saat itu menekankan pada pembelajaran individual. Hal ini ditentang oleh Meier dan mendorongnya untuk melakukan penelitian.
Menurut Meier, belajar bukanlah peristiwa kognitif yang terpisah melainkan sesuatu yang melibatkan diri seseorang secara utuh (tubuh, pikiran dan jiwa) serta kecerdasan yang utuh (Meier, 2002:42). Pendapat tersebut mengantarkan Meier pada sebuah kesimpulan penelitiannya yang menyatakan bahwa manusia memiliki dimensi somatis, auditori, visual dan intelektual. Berdasarkan pandangan tersebut Meier mengajukan pendekatan pembelajaran aktif yang diberi nama Pendekatan SAVI. Pendekatan SAVI ini menekan pembelajaran dengan memanfaatkan semua alat indra siswa (Rosadi, 2009).
Istilah SAVI merupakan kependekan dari: Somatis (S) yaitu gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik) yang menuntut belajar dengan mengalami dan melakukan. Auditori (A), menekankan proses belajar melalui mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi dan menanggapi. Visual (V), bermakna belajar dengan menggunakan indra mata melalui mengamati, menggambar, mendemonstrasikan, membaca, menggunakan media dan alat peraga. Intelektual (I), bermakna bahwa belajar dengan menekankan pada kemampuan berpikir (minds-on). Belajar harus dengan konsentrasi pikiran dan berlatih menggunakan nalar, mengidentifikasi, menyelidiki, menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan (Suhermawan, 2008).
Selain itu Meier (2002:54) juga mengemukakan prinsip-prinsip pokok belajar yang meliputi:
  1. Belajar melibatkan seluruh tubuh dan pikiran.
  2. Belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi.
  3. Kerjasama membantu proses belajar.
  4. Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan.
  5. Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri.
  6. Emosi positif sangat membantu pembelajaran.
  7. Otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.
Berdasarkan prinsip-prinsip belajar di atas, dapat dikatakan bahwa belajar merupakan kegiatan yang menekankan pada penyatuan aktivitas fisik dan pikiran, penggunaan indera, kreativitas, dan kemandirian. Selain itu, prinsip pokok belajar tersebut juga menekankan adanya kerja sama dalam belajar sehingga pembelajaran kooperatif yang ditekankan dan bukan pembelajaran individual.
Teori belajar aktif Meier menekankan pada keterlibatan siswa sepenuhnya dalam pembelajaran. Teori ini juga memandang bahwa gerakan fisik dapat meningkatkan proses mental. Teori tersebut berdasarkan atas letak otak manusia yang mengatur gerakan tubuh (korteks motor) terletak di sebelah otak yang berfungsi untuk berpikir.
Kesimpulan
Pembelajaran dengan pendekatan SAVI adalah pembelajaran yang menekankan bahwa belajar harus memanfaatkan semua alat indra yang dimiliki siswa.   Belajar bisa optimal jika keempat unsur SAVI ada dalam suatu peristiwa pembelajaran. Pembelajar dapat meningkatkan kemampuan mereka memecahkan masalah (Intelektual) jika mereka secara simultan menggerakan sesuatu (Somatis) untuk menghasilkan piktogram atau pajangan tiga dimensi (Visual) sambil membicarakan apa yang sedang mereka kerjakan (Auditori).
Belajar bisa optimal jika keempat unsur SAVI ada dalam suatu peristiwa pembelajaran. Pembelajar dapat meningkatkan kemampuan mereka memecahkan masalah (Intelektual) jika mereka secara simultan menggerakan sesuatu (Somatis) untuk menghasilkan piktogram atau pajangan tiga dimensi (Visual) sambil membicarakan apa yang sedang mereka kerjakan (Auditori). Menggabungkan keempat modalitas belajar dalam satu peristiwa pembelajaran adalah inti dari Pembelajaran Multi Indriawi.