09 September 2009

Pendidikan Nilai sebagai Upaya Pembentukan Karakter Peserta Didik

Pendidikan Nilai sebagai Upaya Pembentukan Karakter Peserta Didik
Oleh: Akhmad Huda, S.Pd.
(Guru MTs Sunan Giri Prigen Kab. Pasuruan)

Abstrak: Pendidikan di Indonesia baik formal, non-formal maupun informal merupakan proses yang dengan sengaja dilakukan untuk tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian yang mantap, mandiri serta bertanggung jawab. Pendidikan bukan sekedar proses pengayaan intelektual, tetapi juga menumbuhkan benih-benih adab manusia untuk mengecambahkan kualitas luhur kemanusiaan. Hal itu akan tercipta apabila ada keharmonisan antara pendidikan sekolah dengan pendidikan keluarga, di samping memang pendidikan sekolah pun harus menumbuhkan benih-benih adab manusia. ini adalah pendidikan nilai, dan sebagai lingkungan yang paling akrab dengan kehidupan anak, keluarga memiliki peran yang sangat penting dan strategis bagi penyadaran, penanaman, dan pengembangan nilai.
Kata Kunci: Pendidikan, Nilai, Karakter Peserta Didik
Achjar Chalil, S.Pd. dalam bukunya yang berjudul Pembelajaran Berbasis Fitrah menjelaskan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang tak berkesudahan yang sangat menentukan karakter bangsa pada masa kini dan masa datang, apakah suatu bangsa akan muncul sebagai bangsa pemenang, atau bangsa pecundang sangat tergantung pada kualitas pendidikan yang dapat membentuk karakter anak bangsa tersebut. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, karakter ialah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Karakter satu bangsa sangat dipengaruhi oleh kultur dasar bangsa tersebut.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dewasa ini telah menggiring manusia kepada bidang keahlian tertentu sebagai konsekuensi logis dari persaingan antar bidang ilmu yang telah terspesialisasi sedemikian rupa. Seseorang tidak lagi bisa menjadi generalis, karena ia telah dibatasi oleh sekat-sekat ilmu yang ditekuninya. Lebih diperparah lagi jika seseorang tidak mampu lagi bahkan sekedar menengok bidang-bidang lain yang bukan spesialisasinya, atau bidang ilmu yang ditekuni itu tidak lagi dilandasi dan dijiwai, bahkan mungkin tak tersentuh sama sekali oleh nilai-nilai moral universal (baca nilai-nilai agama). Selain itu pada masyarakat modern terlihat kecenderungan berperilaku serba instan, praktis, ingin serba cepat. Akibatnya keinginan serba cepat itu kadangkala menyebabkan aturan dilanggar, nilai-nilai moral terabaikan, dan lain sebagainya. Sikap manusia modern seperti ini telah digambarkan oleh Al-Qur’an dengan kata-kata al-’ajalah (ketergesa-gesaan, serba instan), yang disebutkan dalam surat Al-Qiyamah ayat 20-21.
Sesungguhnya tidak salah keinginan serba cepat dan tidak bertele-tele itu sepanjang tetap dalam koridor nilai-nilai dan norma-norma moral. Ketepatan waktu, kedisiplinan, mau antre, tidak menyogok untuk dapat didahulukan kepentingannya sendiri sementara orang lain dibelakangkan, dan lain sebagainya. Sikap ingin serba cepat dalam setiap persoalan ini memang merupakan salah satu karakteristik manusia, seperti digambarkan dalam surat Al-Isra ayat 11 : ” .....dan adalah manusia diciptakan selalu bersifat tergesa-gesa”. Pemberdayaan masyarakat untuk tetap memegang nilai-nilai bukanlah suatu perkara mudah, tetapi harus dilakukan. Sebab, tanpa memahami nilai-nilai itu maka mustahil seseorang mampu mempraktekkannya dalam kehidupan.
Kalau kita lihat dewasa ini mengapa banyak para pejabat negara dan politisi semakin gandrung melakukan praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme)? Mengapa aparat penegak hukum cenderung melanggar peraturan-peraturan hukum yang mereka buat sendiri? Mengapa para elite politik suka ''cakar-mencakar'' dan berusaha menjatuhkan lawan-lawan politiknya? Mengapa kaum intelektual cenderung melanggar etika profesinya dan visi-misi luhurnya? Mengapa sesama anak-anak bangsa senang menabur benih-benih kebencian, permusuhan, dengki, dan dendam? Mengapa para siswa-siswi dan mahasiswa-mahasiswi sering terlibat dalam aksi-aksi kekerasan, pornografi, seks bebas, narkoba, dan aneka macam penyakit sosial lainnya? Mengapa antarsesama anggota keluarga sering terjadi percecokan, perkelahian, bahkan berakhir pada pembunuhan? Mengapa hidup kita selalu diwarnai tragedi-tragedi kemanusiaan yang memilukan, dan seterusnya?
Timo Teweng dalam artikel yang berjudul Penanaman Pendidikan Nilai, menjelaskan tentang salah satu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas adalah karena kita gagal menumbuhkembangkan pendidikan nilai, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Dalam beberapa dekade terakhir ini, pembangunan kita cenderung berorientasi pada sesuatu yang bersifat pragmatis, yaitu hasil yang bisa dilihat dengan mata dan dinikmati oleh perut.

Pendidikan Nilai
Pada dasarnya pendidikan nilai itu hanya dapat diwujudkan atau dijabarkan dalam suatu kebersamaan. Oleh karena itu, untuk melakukannya hampir tidak mungkin tanpa rasa empati dan penghargaan kepada orang lain, kepada segala sesuatu di lingkungan alam dan lingkungan sosial, yang mengerucut pada penghargaan kepada kehidupan. Sementara empati tak mungkin muncul tanpa kepekaan terhadap berbagai persoalan tanpa sekat-sekat ras, etnis, agama, golongan, dan lainnya.
Dalam pendidikan nilai, ada tiga masalah mendasar yang mesti dipahami oleh para pendidik (guru) dan siapa saja, yaitu apa yang harus diajarkan (filsafat), bagaimana anak belajar dan memahami nilai moral (psikologi), serta dalam masyarakat apa dan macam mana nanti kita (sosiologi). Menolak pentingnya filsafat berarti menerima saja yang diperintahkan oleh suatu sistem tertentu. Mengesampingkan psikologi sebagai suatu sarana didaktik metodik pendidikan berarti membiarkan para pendidik seenaknya menggunakan metode-metode pendidikan yang belum teruji kebenaran ilmiahnya. Mengabaikan hakikat tujuan pendidikan moral dalam rangka sejarah (masyarakat) berarti menerima saja masyarakat seperti apa adanya tanpa peduli mengenai apa yang akan terjadi di masa mendatang.
Timo Teweng juga menjelaskan bahwa nilai merupakan integritas hidup seseorang yang akan tercermin dalam pilihannya: cara berpakaian, teman-teman yang dipilih pasangan hidup, interaksi sosial, dan bagaimana hubungan keluarga dengan saudara-saudaranya. Pendidikan nilai membantu banyak orang untuk membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang harus diprioritaskan dan mana yang tidak diprioritaskan, mana yang perlu dan mana tidak perlu.
Selain itu nilai merupakan realitas abstrak dalam diri manusia yang menjadi daya pendorong terhadap sikap dan tingkah laku sehari-hari. Seseorang yang telah menghayati nilai kejujuran sebagaimana diajarkan oleh Islam akan terdorong untuk bersikap dan bertindak jujur kepada orang lain bahkan terhadap dirinya sendiri. Pendidikan nilai bertujuan untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good, yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands. Dalam pembinaan akhlak, perhatian yang cukup besar hendaklah diberikan terhadap pendidikan akhlak anak-anak. Masa kanak-kanak adalah mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani dan dimulailah ufuk manusiawi. Karena itu anak-anak harus dididik dengan akhlak yang mulia. Sedini mungkin anak-anak harus mendapat pendidikan akhlak mulia, sebab “kesan” pada pendidikan dini inilah yang akan berakar kuat dalam kehidupan mereka di masa yang akan datang.
Pendidikan Nilai dan Pembentukan Karakter Peserta Didik
Sekolah sebagai institusi pendidikan yang berperan aktif menanamkan nilai-nilai kepada para peserta didik harus memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan nilai ini. Penerapan pendidikan nilai di sekolah harus melibatkan semua unsur yang terlibat di sekolah itu. Iklim sekolah harus memberi peluang terjadinya interaksi positif antara peserta didik dengan nilai-nilai yang akan diinternalisasikan, baik melalui keteladanan personal, diskusi, maupun proses belajar mengajar dalam arti seluas-luasnya. Komunikasi pendidik dengan peserta didik harus baik yang didasari pada adanya penerimaan kedua belah pihak. Muatan komunikasi itu juga penting agar mengarah kepada nilai-nilai yang diinginkan.
Pendidikan nilai harus ditanamkan kepada peserta didik sebelum mereka mencapai usia akhir pembentukan kepribadian pada usia 20 atau 21 tahun. Jika melewati batas ini, sudah amat sulit memasukkan nilai-nilai karena harus membangun kembali kepribadian yang telah terbentuk (reconstruction of personality). Oleh sebab itu nilai-nilai Islam dalam bentuk akhlak al-karimah sudah terkristal dan terinternalisasi sejak kecil agar menjadi sikap hidup yang tak memerlukan lagi pengawasan dari luar diri individu. Ada atau tidak ada polisi akan berhenti otomatis bila lampu merah lalu lintas menyala. Ada atau tidak ada orang yang melihat secara otomatis akan menjalankan kewajibannya kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Selain itu keberhasilan pembentukan karakter peserta didik melalui pendidikan nilai tidak hanya diterapkan di lingkungan sekolah saja. Lingkungan keluarga merupakan salah satu tempat yang saat ini mulai terlupakan, diingatkan oleh Dr. Rohmat Mulyana, hal krusial yang dihadapi pendidikan nilai di keluarga adalah kecenderungan menipisnya ikatan emosional anak terhadap orangtua atau sebaliknya. Keadaaan ini terjadi sebagai akibat pergeseran nilai-nilai kehidupan manusia yang merembes ke dalam kehidupan keluarga. Dalam hal ini peran ibu dalam pendidikan nilai sangat penting. Ibu adalah sekolah pertama bagi seorang anak (al-ummu madrasatul ula). Masalahnya sekarang, tidak semua orang tua di rumah memiliki waktu dan kesempatan untuk melakukannya. Demikian juga tidak semua orang tua mampu memahami dan menerapkan teknik-teknik pendidikan nilai secara baik kepada anak. Pendidikan nilai di keluarga adalah menjadikan keluarga sebagai zona iklim pembelajaran yang kondusif bagi anak. yang terpenting sekarang, anak adalah harapan masa depan. rasa kebersamaan dan kesatuan antara sekolah dan orangtua bisa memunculkan konsep berbagi rasa sebagai wujud tanggung jawab bersama.
Pendidikan nilai, moral dan etika merupakan hidden curriculum yang secara integral terkait dengan hampir semua mata pelajaran sekolah. Keberhasilan menanamkan dan menumbuhkembangkan nilai-nilai tersebut tergantung dari peranan pendidik (guru) yang mendukung sistem penyelenggaraan pendidikan sekolah dan sejauh mana komitmen masyarakat terutama keluarga dan pemerintah dalam memberikan teladan kepada anak-anak.



Daftar Rujukan
Teweng, Timo. 2005. Penanaman Pendidikan Nilai. (Online), (http://www.ppi-india.org diakses 7 Juli 2009)
……………...2008. Pendidikan Nilai. (Online), http://diazzoo. multiply.com/journal/item/82/Pendidikan Nilai diakses 7 Juli 2009)
........... 2008. Pendidikan Nilai (Online), (http://inmadrasah.co.cc/2008/04/pendidikan-nilai.html, diakses 7 Juli 2009)