Membangun Budaya Pendidikan yang Berorientasi Islami
Oleh: Akhmad Huda, S.Pd.
(Guru MTs Sunan Giri Prigen Kab. Pasuruan)
Abstrak: Dunia pendidikan saat ini berada dalam dinamika sosial kehidupan masyarakat yang tengah dibanjiri oleh arus informasi, dan proses komunikasi yang semakin cepat serta akurat sebagai akibat laju perkembangan teknologi bidang informatika yang semakin mudah dan murah. Tetapi teknologi ini mempunyai daya jelajah yang luas hingga menembus batas antarlintas budaya dari berbagai etnis dan ras di muka bumi, sehingga terjadi interaksi antarbudaya yang secara dialektis kemudian membentuk idiom budaya sangat dinamis, dan sangat berpengaruh terhadap ketahanan mental kepribadian bangsa. Dalam kondisi tertentu pada kalangan masyarakat yang tingkat kepribadiannya cenderung labil, dan mengabaikan nilai-nilai luhur budaya dan citra kebangsaan, akan berkembang perasaan bahwa budayanya sendiri rendah ketimbang budaya lain. Kondisi seperti ini yang disebut oleh Alatas dalam Yusmar Lubis (2001 : 78) sebagai captive mind syndrome. Suatu gejala jiwa, yang tidak mustahil pada kawasan keberagamaan akan menggoyahkan stabilitas keyakinannya, hingga menempati posisi yang kemudian menjadi dipertanyakan, apakah masih memiliki komitmen sebagai orang yang beragama?
Kata Kunci: Budaya, Budaya Pendidikan, Pendidikan Islam
Pendahuluan
Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural, secara makro persoalan yang dihadapi Pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan Islam mampu menghadirkan disain atau konstruksi wacana pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan masyarakat. Kemudian disain wacana pendidikan Islam tersebut dapat dan mampu ditranspormasikan atau diproses secara sistematis dalam masyarakat. Persoalan pertama ini lebih bersifat filosofis, yang kedua lebih bersifat metodologis. Pendidikan Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada dataran filosofis, wacana metodologis, dan juga cara menyampaikan atau mengkomunikasikannya.
Dalam menghadapi peradaban modern, yang perlu diselesaikan adalah persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu (1) persoalan dikotomik, (2) tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, (3) persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan ini saling interdependensi antara satu dengan lainnya. Pertama, Persoalan dikotomik pendidikan Islam, yang merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang. Pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT (Suroyo, 1991 : 45).
Mengenai persoalan dikotomi, tawaran Fazlur Rahman, salah satu pendekatannya adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk "mengislamkan"nya - yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Lebih lanjut Fazlur Rahman, mengatakan persoalannya adalah bagaimana melakukan modernisasi pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterkaiatan yang serius kepada Islam (Fazlur Rahman, 1982 : 155, 160). A.Syafi'i Ma'arif (1991 : 150), mengatakan bila konsep dualisme dikotomik berhasil ditumbangkan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam juga akan berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi. Untuk kasus Indonesia, IAIN misalnya akan lebur secara integratif dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi negeri lainnya. Peleburan bukan dalam bentuk satu atap saja, tetapi lebur berdasarkan rumusan filosofis.
Kedua, perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam (Anwar Jasin, 1985 : 15) yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengembirakan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan peniruan dengan pola tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan terjadi tumpang tindih. Sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi, apakah mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, atau mengkhususkan pada disain pendidikan keagamaan yang berkualitas, mampu bersaing, dan mampu mempersiapkan mujtahid-mujtahid yang berkualitas.
Ketiga, persoalan kurikulum atau materi Pendidikan Islam, meteri pendidikan Islam "terlalu dominasi masalah-maslah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis. Materi disampaikan dengan semangat ortodoksi kegamaan, suatu cara dimana peserta didik dipaksa tunduk pada suatu "meta narasi" yang ada, tanpa diberi peluang untuk melakukan telaah secara kritis. Pendidikan Islam tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal untuk menghabiskan materi atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu yang telah ditentukan
Esensi Pendidikan Islam
Esensi “Pendidikan Islam", menurut Rahman tidaklah memaksudkan perlengkapan dan peralatan-peralatan fisik atau kuasi-fisik pengajaran seperti buku-buku yang diajarkan ataupun struktur eksternal pendidikan, tetapi adalah apa yang menurut Rahman sebagai "intelektualisme Islam", dan bagi Rahman inilah esensi pendidikan tinggi Islam. Intelektualisme Islam merupakan pertumbuhan suatu pemikiran Islam yang asli dan memadai, yang harus memberikan kreteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah sistem pendidikan Islam. Perumusan pemikiran pendidikan tinggi Islam haruslah didasarkan kepada metoda penafsiran yang benar terhadap al-Qur'an. Mengapa al-Qur'an harus ditempatkan sebagai titik pusat intelektualisme Islam, jawabannya karena bagi Muslim, al-Qur'an adalah kalam Allah yang diwahyukan secara harfiah kepada Nabi Muhammad, dan barangkali tidak ada dokumen keagamaan lain yang dipegang seperti itu (Fazlur Rahman, 1982 : 1).
Pendidikan Islam merupakan lembaga pendidikan ilmu-ilmu keislaman efek pembaharuannya baru dirasakan dalam lapangan reorganisasi, dan tidak dalam kandungan ilmu-ilmu Islam seperti teologi dan filsafat. Pendidikan Tinggi Islam belum mampu membangun paradigma baru yang tetap berangkat dari pemahaman al-Qur'an, sehingga mampu melahirkan apa yang disebut dengan "intelektualisme Islam". Tampaknya bagi Rahman, dikotomi tidak merupakan alasan, karena salah satu tawarnnya adalah menerima pendidikan sekuler modern yang berkembang di dunia Barat, dengan mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam, yang mewarnai bidang-bidang kajian tingkat tinggi dengan nilai-nilai Islam. Masalah pokok yang dihadapi adalah bagaimana "memodernisasi" pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterikatan yang serius kepada Islam (Rahman, 156-160).
Lebih lanjut, Ahmad Syafii Maarif (1997:3) menyatakan bahwa salah satu penyebab tersungkurnya dunia Islam adalah karena pendidikan yang diselenggarakan tidak lagi mengacu kepada dan mengantisipasi zaman yang sedang berubah dan bergulir. Umat sibuk "bernyanyi" di bawah payung kebesaran masa lampau dengan sistem politik dinasti yang otoriter. Proses penyadaran kembali terhadap tanggungjawab global umat ternyata memakan tempo yang lama sekali, karena pendidikan yang diselenggarakan sangat konservatif dalam arti menjaga dan melestarikan segala yang bersifat klasik. Daya kritis dan inovatif hampir-hampir lenyap samasekali dari ruangan madrasah, pondok, dan lembaga pendidikan lainnya di seluruh negeri Muslim.
Penerapan Pendidikan Islami
Menurut al Qur’an, semua pengetahuan datangnya dari Allah. Sebagian dari pengetahuan itu diwahyukan oleh Allah Swt kepada orang yang dipilih-Nya, sebagian lain diperoleh manusia dengan menggunakan indera, akal dan qalbunya. Pengetahuan yang diwahyukan itu mempunyai kebenaran absolut (mutlak), sedangkan pengetahuan yang diperoleh manusia, kebenarannya tidak mutlak. Dalam kenyataan sejarah, kedua macam pengetahuan ini selalu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Islam. Pengetahuan yang diwahyukan disebut pengetahuan naqliyah dan pengetahuan yang diperoleh manusia disebut pengetahuan aqliyah. Ketika pemikiran dan teknologi telah begitu maju, maka hubungan antara pengetahuan naqliyah dengan pengetahuan aqliyah mulai terganggu sehingga muncul keterpisahan antara keduanya. Dalam berbagai buku, juga dalam pembicaraan sehari-hari, sering kali dijumpai istilah pengetahuan umum dan pengetahuan agama. Dari istilah ini kemudian berkembang pula istilah lainnya, seperti sekolah umum dan sekolah agama, guru umum dan guru agama. Bahkan muncul pula kategori masalah dunia (masalah pengetahuan umum) dan masalah akhirat (masalah pengetahuan agama). Keterpisahan ini sebenarnya menimbulkan konflik, baik dalam diri individu maupun dalam kehidupan masyarakatnya
Ajaran Islam yang dijumpai dalam al-Qur’an dan al-Hadits telah meletakkan dasar-dasar yang khas tentang berbagai aspek kehidupan, mulai dari aspek sosial, politik, ekonomi, hubungan antar umat beragama, hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, cakupan pendidikan Islami harus diarahkan untuk memenuhi berbagai aspek kehidupan ini, dan inilah yang menjadi cita-cita Islam untuk berbagai aspek kehidupan, di antaranya:
Dalam bidang sosial, Islam mencita-citakan suatu masyarakat yang egaliter, yakni sistem sosial yang didasarkan kesetaraan dan kesederajatan sebagai makhluk Allah Swt. Atas dasar ini, kedudukan dan kehormatan manusia adalah sama di hadapan Allah Swt, bukan didasarkan atas perbedaan suku, ras, golongan, bahasa, pangkat, keturunan dan sebagainya. Dalam bidang politik, Islam mencita-citakan suatu kehidupan negara yang dipimpin oleh orang yang adil, jujur, amanah, dan demokratis, sehingga ia tidak menyalahgunaan kekuasaan, menciptakan kemakmuran dan memperhatikan aspirasi rakyatnya. Dalam bidang ekonomi, Islam mencita-citakan sistem ekonomi yang didasarkan pada pemerataan, anti monopoli dan saling menguntungkan. Dalam bidang hubungan sosial, Islam mencita-citakan suatu sistem masyarakat yang didasarkan pada ukhuwah yang kokoh, hubungan yang harmonis, saling tolong menolong sesama manusia. Dalam bidang hukum, Islam mencita-citakan tegaknya supremasi hukum yang didasarkan pada keadilan, tidak pilih kasih, manusiawi, konsisten dan obyektif yang diarahkan untuk melindungi seluruh aspek HAM yang meliputi hak hidup, hak beragama, hak memiliki dan memanfaatkan harta, hak memiliki keturunan, hak mengembangkan cita-cita dan memperoleh ilmu pengetahuan. Dalam bidang ilmu pengetahuan, Islam mencita-citakan pengembangan ilmu pengetahuan yang integrated antara ilmu naqliyah dan ilmu aqliyah. Sedangkan dalam bidang budaya, Islam membolehkan masuknya budaya baru sepanjang tidak bertentangan dengan aqidah dan akhlak Islam.
Gambaran tentang cita-cita Islam dalam berbagai lapangan kehidupan di atas selain harus disosialisasikan kepada umat Islam melalui jalur pendidikan, juga sekaligus menjadi prinsip dasar dalam penyelenggaraan pendidikan Islam
Budaya Pendidikan yang Berorientasi Islami
Ciri utama pendidikan dapat dikatakan Islami ialah senantiasa berpegang teguh pada penjelasan Allah Swt mengenai hakikat manusia dan menjadikan penjelasan Allah Swt itu sebagai rujukan utama di mana pun dan kapan pun pendidikan itu dilaksanakan. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah Swt, yakni berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Lebih lanjut Ahmad Tafsir menyebut perbedaan pandangan itu karena masyarakat Barat pada umumnya berpegang pada hasil rasio manusia tentang hakikat manusia, sedangkan di kalangan masyarakat Muslim senantiasa berpegang teguh pada penjelasan Sang Penciptanya mengenai hakikat manusia dan menjadi penjelasan Sang Pencipta sebagai rujukan utama para ilmuwan Muslim di mana pun mereka berada. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah Swt, yakni berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Di antara ciri-ciri pendidikan Islami yang perlu dikembangkan akibat perbedaan pandangan mengenai hakikat manusia, yakni jika dalam pendidikan konvensional pada umumnya hanya mengakui semata-mata tri-dimensional raga (organo-biologis), jiwa (psiko-edukasi) dan lingkungan sosial-budaya (sosio-kultural) sebagai penentu utama perilaku dan kepribadian manusia, maka dalam pendidikan Islami mengakui dimensi Ruhani sebagai dimensi inti dalam sistem kejiwa-ragaan manusia.
Oleh karena itu, budaya pendidikan Islami harus mempunyai landasan yang kuat menurut ajaran Islam, terutama dalam hal: (1) landasan pendidikan Islami harus bertumpu pada akidah, ibadah dan akhlak, yakni: (a) landasan akidah dalam Islam adalah meng-Esakan Allah Swt, mengimani malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat, qadha dan qadar sampai pada keyakinan bahwa al-Qur'an adalah kebenaran yang mutlak dan harus menjadi landasan, wawasan dan sumber ilhami bagi pendidikan Islami; (b) landasan ibadah yang benar terhadap Allah sesuai ajaran Islam, dimulai dengan melaksanakan rukun Islam, melaksanakan ibadah dalam arti luas seperti berlaku adil dan ihsan, menyeru kepada kebaikan, melaksanakan yang makruf dan mencegah dari yang munkar, berjihad di jalan Allah sampai dengan mewujudkan perubahan-perubahan positif pada setiap diri individu yang berangkat dari perintah dan larangan Allah Swt; dan (c) landasan akhlak mulia, yakni mengembangkan perbuatan-perbuatan terpuji dan menjauhi perbuatan-perbuatan buruk atau tercela. Dengan demikian, pendidikan Islami secara konsisten diarahkan untuk membina manusia bermoral, (2) pendidikan Islami dalam tujuan dan proses-prosedur interaksi antar sesama manusia harus sesuai dengan syariat Islam, yakni memperlakukan setiap individu sesuai perintah dan larangan Allah Swt, mensucikan dirinya dengan amal ibadah dan taubat, mendekatkan kepada Allah Swt dan mengerjakan segala amal perbuatan wajib dan amal-amal sunah. Konsep interaksi antara sesama manusia sesuai syariat Islam termasuk kepada mereka yang non-muslim, di mana Islam melarang tindakan seseorang muslim yang dapat menggangu dan merugikan pihak non-muslim. Bahkan sampai pada tingkat tidak boleh memaksakan mereka untuk memeluk Islam dengan menggunakan kekerasan, intimidasi dan sebagainya.
Selain itu untuk menghadapi tantangan perubahan zaman pendidikan Islam harus: pertama, lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendisain ulang fungsi pendidikannya, dengan memilih apakah (1) model pendidikan yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk mempersiapkan dan melahirkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid tangguh dalam bidangnya dan mampu menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan perubahan zaman, (2) model pendidikan umum Islami, kurikulumnya integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama, untuk mempersiapkan intelektual Islam yang berfikir secara komprehensif, (3) model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam, (4) atau menolak produk pendidikan barat, berarti harus mendisain model pendidikan yang betul-betul sesuai dengan konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia, (5) pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah tetapi dilaksanakan di luar sekolah, artinya pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat berupa kursur-kursus, dan sebagainya.
Kedua, disain "pendidikan harus diarahkan pada dua dimensi, yakni : (1) dimensi dialektika (horisontal), pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan Iptek, dan (2) dimensi ketunduhan vertikal, pendidikan selain menjadi alat untuk memantapkan, memelihara sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan misteri kehidupan yang abadi dengan maha pencipta. Berati pendidikan harus disertai dengan pendekatan hati (M.Irsyad Sudiro, 1995 : 2).
Ketiga, sepuluh paradigma yang ditawarkan oleh Prof. Djohar, dapat digunakan untuk membangun paradigma baru pendidikan Islam, sebagai berikut : Satu, pendidikan adalah proses pembebasan. Dua, pendidikan sebagai proses pencerdasan. Tiga, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak. Empat, pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian. Lima, pendidikan adalah proses pemberdayaan potensi manusia. Enam, pendidikan menjadikan anak berwawasan integratif. Tujuh, pendidikan wahana membangun watak persatuan. Delapan, pendidikan menghasilkan manusia demokratik. Sembilan, pendidikan menghasilkan manusia yang peduli terhadap lingkungan. Sepuluh, sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan (Djohar, 1999 : 12).
Tiga hal yang dikemukakan di atas merupakan tawaran desain pendidikan Islam yang perlu diupayakan untuk membangun paradigma pendidikan Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan zaman modern dan memasuki era milenium ketiga. Karena, "kecenderungan perkembangan semacam dalam mengantisipasi perubahan zaman merupakan hal yang wajar-wajar saja. Sebab kondisi masyarakat sekarang ini lebih bersifat praktis-pragmatis dalam hal aspirasi dan harapan terhadap pendidikan" (S.R.Parker, 1990), sehingga tidak statis atau hanya berjalan di tempat dalam menatap persoalan-persoalan yang dihadapi pada era masyarakat modern dan post masyarakat modern. Untuk itu, Pendidikan dalam masyarakat modern, pada dasarnya berfungsi untuk memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosiokulturalnya yang terus berubah dengan cepat, dan pada saat yang sama, pendidikan secara sadar juga digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik, ekonomi secara keseluruhan. Pendidikan sekarang ini seperti dikatakan oleh Ace Suryadi dan H.A.R. Tilar (1993), tidak lagi dipandang sebagai bentuk perubahan kebutuhan yang bersifat konsumtif dalam pengertian pemuasan secara langsung atas kebutuhan dan keinginan yang bersifat sementara. Tapi, merupakan suatu bentuk investasi sumber daya manusia (human investment) yang merupakan tujuan utama ; pertama, pendidikan dapat membantu meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan untuk bekerja lebih produktif sehingga dapat meningkatkan penghasilan kerja lulusan pendidikan di masa mendatang. Kedua, pendidikan diharapkan memberikan pengaruh terhadap pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan (equality of education opportunity) (A.Malik Fadjar, 1995 : 1).
Selain itu dalam menghadapi era milenium ketiga ini nampaknya pendidikan Islam harus menyiapkan sumber daya manusia yang lebih handal yang memiliki kompotensi untuk hidup bersama dalam era global. Menurut Djamaluddin Ancok (1998 : 5), "salah satu pergeseran paradigma adalah paradigma di dalam melihat apakah kondisi kehidupan di masa depan relatif stabil dan bisa diramalkan (predictability). Pada milenium kedua orang selalu berpikir bahwa segala sesuatu bersifat stabil dan bisa diprediksi. Tetapi, pada milenium ketiga semakin sulit untuk melihat adanya stabilitas tersebut. Apa yang terjadi di depan semakin sulit untuk diprediksi karena perubahan menjadi tidak terpolakan dan tidak lagi bersifat linier". Maka, pendidikan Islam sekarang ini disainnya tidak lagi bersifat linier tetapi harus didisan bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat dan tidak terpolakan. Untuk itu, lebih lanjut Djamaluddin Ancok yang mengutip Hartanto : 1997: Hartanto, Raka & Hendroyuwono, 1998, mengatakan bahwa pendidikan (termasuk pendidikan Islam) harus mempersiapkan ada empat kapital yang diperlukan untuk memasuki milenium ketiga, yakni kapital intelektual, kapital sosial, kapital lembut, dan kapital spritual. Tantangan ini tidak muda untuk penyelesaiannya, tidak seperti membalik telapak tangan. Untuk itu, pendidikan Islam sangat perlu mengadakan perubahan atau mendesain ulang konsep, kurikulum dan materi, fungsi dan tujuan lembaga-lembaga, proses, agar dapat meneuhi tuntatan perubahan yang semakin cepat.
Daftar Rujukan
Rahman, Editor, (2006), Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan, Jatonangor Bandung: Alqaprint Jatinangor, hal. 2.
Ahmad Tafsir, (2007), Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, hal. 8.
Ahmad Tafsir, (2006), Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung: Remaja Rosdakarya, hal. 7.
Ahmad Syafii Maarif, 1997, Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru yang Lebih Efektif, Makalah Seminar.
______, 1984, Fazlur Rahman, al-Qur'an dan Pemikirannya dalam Islam, Edisi Indonesia, Pustaka, Bandung.