17 January 2009

Mengembangkan Kreativitas Siswa dengan Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Mengembangkan Kreativitas Siswa dengan Model Pembelajaran

Berbasis Masalah

Oleh: Akhmad Huda, S.Pd. *)

Absrak: Hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran berbagai bidang studi terbukti selalu kurang memuaskan berbagai pihak (yang berkepentingan – stakeholder). Hal tersebut setidak-tidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, perkembangan kebutuhan dan aktivitas berbagai bidang kehidupan selalu meninggalkan proses/hasil kerja lembaga pendidikan atau melaju lebih dahulu daripada proses pengajaran dan pembelajaran sehingga hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran tidak cocok/pas dengan kenyataan kehidupan yang diarungi oleh siswa. Kedua, pandangan-pandangan dan temuan-temuan kajian (yang baru) dari berbagai bidang tentang pembelajaran dan pengajaran membuat paradigma, falsafah, dan metodologi pembelajaran yang ada sekarang tidak memadai atau tidak cocok lagi. Ketiga, berbagai permasalahan dan kenyataan negatif tentang hasil pengajaran dan pembelajaran menuntut diupayakannya pembaharuan paradigma, falsafah, dan metodologi pengajaran dan pembelajaran. Dengan demikian, diharapkan mutu dan hasil pembelajaran dapat makin baik dan meningkat.

Kata kunci: kreativitas, model pembelajaran, pembelajaran berbasis masalah

Pendidikan memegang peranan yang amat penting untuk menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Guna mewujudkan tujuan di atas diperlukan usaha yang keras dari masyarakat maupun pemerintah. Masyarakat Indonesia dengan laju pembangunannya masih menghadapi masalah berat, terutama berkaitan dengan kualitas, relevansi, dan efisiensi pendidikan.

Departemen Pendidikan Nasional sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan dan telah melakukan pembaharuan system pendidikan. Usaha tersebut antara lain adalah penyempurnaan kurikulum, perbaikan sarana dan prasarana, serta peningkatan kualitas tenaga pengajar. Kurikulum yang berlaku sampai tahun ini adalah kurikulum 1994. Kurikulum ini mengalami penyempurnaan dan hasil penyempurnaan ini adalah kurikulum 2004 atau juga dikenal dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Ketika KBK ramai dibicarakan dan muncul buku-buku pelajaran yang disusun berdasarkan kurikulum ini, muncul KTSP atau kurikulum 2006 yang merupakan penyempurnaan dari KBK. KTSP mulai diberlakukan secara berangsur-angsur pada tahun ajaran 2006/2007

Adanya tiga macam kurikulum yang berlaku paling tidak pada awal pemberlakuan KTSP sangat membingungkan. Situasi ini diperparah dengan munculnya kesimpangsiuran informasi tentang KBK dan KTSP yang beredar dimasyarakat. Guru sebagai orang yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan kurikulum merupakan pihak yang paling dibingungkan dengan situasi ini. Namun, kunci sukses pengajaran bukan terletak pada kecanggihan kurikulum atau kelengkapan fasilitas sekolah, melainkan bagaimana kredibilitas seorang guru di dalam mengatur dan memanfaatkan mediator yang ada di dalam kelas.

Dalam pengajaran atau proses belajar mengajar guru memegang peran sebagai sutradara sekaligus aktor. Artinya, pada gurulah tugas dan tanggung jawab merencanakan dan melaksanakan pengajaran di sekolah. Guru sebagai tenaga professional harus memiliki sejumlah kemampuan mengaplikasikan berbagai teori belajar dalam bidang pengajaran, kemampuan memilih dan menerapkan metode pengajaran yang efektif dan efisien, kemampuan melibatkan siswa berpartisipasi aktif, kreatif, dan kemampuan membuat suasana belajar yang menunjang tercapainya tujuan pendidikan.

Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) merupakan salah satu model pembelajaran yang dipandang cocok untuk mengembangkan agar siswa berpartisipasi aktif dan kreatif. Pilihan itu sesuai dengan pendapat, sebagaimana dikemukakan Gardner (1993), bahwa proses berpikir kreatif berkaitan dengan penemuan dan pemecahan masalah.

Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan salah satu model pembelajaran yang diturunkan dari paham filsafat kontuktivisme. Sesuai dengan karakteristik filsafatnya itu, belajar pada dasarnya adalah kegiatan memperoleh pengalaman dengan mengkostruk pengalaman yang diperoleh dari proses belajar. Hasil belajar yang berupa pengetahuan, keterampilan, dan keahlian, serta kecapakan, bukanlah pemberian dari pembelajar (guru/dosen), melainkan hasil dari aktivitas mengkonstruksi pengalaman belajar sendiri. Dalam proses itu ada internalisasi pengalaman pada diri siswa yang berciri individual. Akibatnya, pengalaman belajar dan hasil belajar dibenarkan bervariasi.

Paradigma pembelajaran kontuktivisme telah disuarakan dengan lantang oleh Degeng (2000, 2002) sebagai hal yang wajib untuk merevolisu pembelajaran di Indonesia apabila kita ingin menghasilkan semberdaya manusia lulusan pendidikan yang ideal. Paradigma behavioristic yang dipegang oleh guru selama ini yang ditampilkannya dalam proses pembelajaran berupa transfer pengetahuan dari guru ke siswa telah menunjukkan kegagalannya dalam upaya menghasilkan lulusan pendidikan yang bertaraf ideal. Cara pandang behaviorostic ini harus secara radikal diganti dengan cara pandang kontruktivisme.

Paradigma behavioristik harus diganti dengan paradigma kontruktivisme, yang memandang pengetahuan sebagai hasil upaya konstruksi yang dilakukan siswa. Ciri khas paradigma pembelajaran konstruktivisme ialah keaktifan dan keterlibatan siswa dalam proses upaya belajar sesuai dengan kemampuan, pengetahuan awal, dan gaya belajar masing-masing dengan bantuan guru sebagai fasilitator yang membantu siswa apabila siswa mengalami kesulitas dalam upaya belajarnya.

Ada tiga butir pandangan filosofis paham kontruktivisme yang terkait dengan pembelajaran, termasuk dalam PBM (Savery & Duffy, 1996). Pertama, pemahaman terjadi dalam interaksi dengan lingkungan. Kedua, konflik atau persoalan yang dihadapi dan dihadapkan pada siswa adalah stimulus untuk belajar dan menetukan organisasi dan hgakikat hal-hal yang dipelajari. Ketiga, pengetahuan berkembang melalui sosial dan melalui evaluasi terhadap viabilitas pemahaman individual.

Prinsip-prinsip dalam Pembelajaran Berbasis Masalah

Seperti model pembelajaran yang lain, PBM terikat pada prinsip-prinsip yang berlaku. Prinsip-prinsip itu pula yang perlu diketahui guru ketika melaksanakan pembelajaran dengan PBM.

Menurut Savery & Duffy (1996) pembelajaran dalam PBM direalisasikan dengan sejumlah kegiatan dengan uraian berikut Pertama, menempatkan semua aktivitas belajar pada tugas atau masalah. Prinsip ini berarti bahwa belajar harus ditempatkan pada kegiatan penyelesaian tugas atau penyelesaian masalah. Kedua, mendukung siswa dalam mengembangkan diri untuk memecahkan masalah atau menyelesaikan tugas. Dalam mengembangkan kemampuan memecahkan masalah ada dua cara yang dapat ditempuh. Pertama, siswa meminta masalah dari guru dan menggunakannya sebagai stimulus untuk beraktivitas belajar, artinya masalah yang dipecahkan berasal dari siswa. Kedua, guru menetapkan masalah dan memberikannya kepada siswa sebagai stimulus aktivitas belajar.

Ketiga, merancang tugas autentik yang dimaksudkan agar pengajar berada dalam lingkungan belajar yang autentik sehingga siswa itu mendapatkan pengalaman belajar yang diperlukan sebagai pengalaman belajar yang autentik pula. Keempat, merancang tugas dan lingkungan belajar untuk merefleksi kompleksitas lingkungan yang difungsikan siswa. Kelima, memberi siswa hak (ownership) untuk memecahkan masalah atau solusi. Dalam pembelajaran PBM siswa diberi hak sepenuhnya untuk memecahkan masalah atau mengembangkan solusi. Keenam, merancang lingkungan belajar untuk mendukung pengembangan pikiran siswa. Dalam pelaksanaan pembelajaran, guru bertindak sebagai bagian integlar fasilitator dan bagian integral lingkungan belajar siswa. Guru merupakan salah satu sumber belajar. Ketujuh, memberi kesempatan untuk menguji gagasan dalam pandangan dan konteks alternatif. Kegiatan ono diarahkan untuk memberikan sikap terbuka pada siswa tentang bkualitas dan kedalam pengalaman hasil belajar, dan kedelapan, memberikan kesempatan untuk melakukan refleksi, baik konten maupun proses. Untuk memaknai pengalaman belajar dan hasil belajar, siswa perlu melakukan kegiatan refleksi. Refleksi diarahkan pada dua hal, yakni strategi belajar dan hasil belajar. Refleksi merupakan bagian integral proses belajar (Suparno, 2004: 4-9).

Proses Pembelajaran dalam PBM

Secara garis besar, sebagaimana dikemukakan oelh Barrows & Myers (dalam Savery & Duffy, 1996: 142), PBM dilaksankan dalam lima tahapab berikut: (1) tahapan pengondisian kelas (starting a new class), (2) tahap penyampaian masalah baru (starting a new problem), (3) tahap tindak lanjut masalah (problem fallow-up), (4) tahap presentasi hasil (performance prsentation), dan (5) tahap pasca penyimpulan masalah( after conclusion of problem).

Setiap tahapan tersebut berisi sejumlah kegiatan. Tahap pertama berisi ekgiatan introduksi dan penciptaan iklim belajar. Tahap kedua berisi kegiatan menyusun masalah, memberikan masalah kepada siswa, mendeskripsikan produk, menyampaikan tugas pemecahan masalah, memberikan penalaran berdasarkan masalah, merumuskan komitmen sebagai hasil yang mungkin ada, menajamkan pemahaman isu dan tugas, mengidentifikasi sumber belajar, dan menetapkan tindak lanjut. Tahap ketiga berisi kegiatan penetapan sumber belajar dan kegiatan menguji masalah. Tahap keempat berisi kegiatan presntasi hasil pemecahan masalah. Tahap kelima berisi kegiatan mengabstraksi dan meringkas pengetahuan dan kegiatan melakukan evaluasi diri.

Kegiatan mengabstraksi dan meringkas pengetahuan berupa kegiatan mengembangkan definisi, diagram, daftar, konsep, abstraksi, dan prinsip. Kegiatan evaluasi diri dilakukan dalam kelompok dengan kegiatan-kegiatan berikut: (1) melakukan penalaran berdasarkan masalah, (2) menguak informasi dengan menggunakan sumber belajar yang baik, (3) membantu kelompok berdasarkan tugasnya, dan (4) memperoleh dan menghaluskan pengetahuan hasil belajar. (Suparno, 2004:11-12)

Simpulan

PBM memungkinkan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar yang autentik sebagai produk interaksi antara siswa dan sumber belajar. Pengalaman yang demikian itu sangat bermakna bagi siswa yang pada saatnya akan bermakna pula dalam kehidupan pasca belajar di sekolah. Untuk memaksimalkan perolehan pengalaman belajar itu, prinsip-prinsip pembelajaran yang relevan dan proses pembelajaran yang menunjang harus diterapkan.

Daftar Rujukan

Savery, Jhon & Thomas M. Duffy. 1996. Problem Bases Learning; An Intructional Model and Its Constructivist Framework. Dalam Wilson, Bret G. Constructivist Learning Environment; New Jersey Educational Technology Publications Inc.

Suparno. 2004. Pembelajaran Berbasis Masalah. Salah Satu Model Pembelajaran yang Cocok untuk Mengembangkan Kreativitas Pebelajar. Pidato Ilmiah (disampaikan dalam rangka Wisuda Sarjana dan Diploma tahun 2004 STKIP PGRI Pasuruan.

……….. 2007. Pengajran Bahasa Indonesia yang Efektif. (Online), (http://www. duniaguru.com, diakses 08 September 2007)

*) Penulis adalah guru Bahasa Indonesia DPK Depag kabupaten Pasuruan di MTs Sunan, masih menempuh S2 Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Islam Malang.